Bisnis.com, JAKARTA—PT Perusahaan Listrik Negara (persero) diminta untuk meninjau pembangunan pembangkit utamanya yang berbasis batu bara (PLTU) dalam penyusunan Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Pasalnya, hasil kajian Institute Essential for Services Reform (IESR) bersama dengan Monash University dan Agora Energiview MENYEBITSistem Pembangkit Listrik Jawa dan Bali berpotensi menjadi aset terlantar akibat kelebihan kapasitas sebesar 13,3 GW selama 10 tahun mendatang.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan PLN selama ini telah membuat estimasi yang lebih tinggi untuk permintaan listrik di Jawa, Bali, dan Sumatera. Fabby menjelaskan dengan estimasi permintaan listrik yang terlalu tinggi meningkatkan risiko terjadinya penggunaan pembangkit listrik termal yang lebih rendah dari rencana; apalagi dengan harga energi terbarukan yang semakin rendah.
Menurutnya estimasi pertumbuhan permintaan listrik di Jawa, Bali dan Sumatra selalu lebih tinggi dibandingkan dengan data historis. Bila diperinci, Rata-rata historis (2012-2017) pertumbuhan listrik di Jawa--Bali sebesar 4,9% bila dibandingkan dengan pertumbuhan listrik di Jawa-Bali berdasarkan RUPTL 2018-2027 sebesar 6 %.
Selain itu, Rata-rata historis (2012-2017) pertumbuhan listrik di Sumatera sebesar 5,8% apabila dibandingkan dengan pertumbuhan listrik di Sumatera berdasarkan RUPTL 2018-2027 sebesar 9,2 %.
Perbedaan pada kapasitas terpasang dan energi yang dihasilkan pada 2027 antara RUPTL dan skenario RUPTL yang dikaji IESR. Tingkat penggunaan (utilization rate) pembangkit listrik thermal akan jauh lebih kecil daripada yang direncanakan, sehingga meningkatkan risiko aset-aset yang akan terlantar (stranded asset)
“Ada 13 GW kapasitas pembangkit listrik berlebih, dengan total investasi sekitar $ 12,7 miliar, biaya yang sebenarnya tidak diperlukan dan bisa dialokasikan untuk keperluan lain Bali dan Sumatra dalam RUPTL,”sebut Faby Senin (25/2/2019).
Belum lagi, lanjut Fabby dengan adanya efisiensi energi melalui listrik hemat energi untuk sektor rumah tangga ataupun pabrik dan industri selama 5 tahun belakangan.
Namun jumlah kelebihan kapasitas ini, kata Fabby belum memperhitungkan potensi konsumsi kompor listrik dan kendaraan listrik. Jika kedua faktor ini ditambahkan, juga tak akan signifikan mengurangi beban kapasitas karena diperkirakan membutuhkan konsumsi total 2GW.
“Kalau ada kendaraan listrik mungkin kapasitas berlebihnya bisa menjadi 10 GW. Nggak banyak akan berpengaruh. Kecuali langsung 10 juta mobil listrik 2027—2028. Tapi kita belum punya jejak historis jadi belum tahu,”ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel