Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jika HPP Gula Direvisi Jadi Rp10.500/kg, HET Berisiko Tembus Rp14.000/kg

Wacana Presiden Joko Widodo menaikkan harga patokan petani (HPP) gula kristal putih (GKP) menjadi Rp10.500/kg sangat berisiko membuat harga eceran tertinggi (HET) gula konsumsi terkerek naik ke level Rp14.000/kg.

Bisnis.com, JAKARTA — Wacana Presiden Joko Widodo menaikkan harga patokan petani (HPP) gula kristal putih (GKP) menjadi Rp10.500/kg sangat berisiko membuat harga eceran tertinggi (HET) gula konsumsi terkerek naik ke level Rp14.000/kg.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan, apabila pemerintah resmi menaikkan HPP GKP menjadi Rp10.500/kilogram (kg) dari level Rp9.700/kg saat ini, maka HET yang saat ini dipatok senilai Rp12.500/kg harus ikut direvisi.

Pasalnya, tegas Khudori, dengan adanya kenaikan HPP GKP, harga gula konsumsi di pasaran praktis akan ikut naik.

“Dengan  asumsi tambahan dari margin keuntungan petani, biaya pengemasan dan transportasi sebesar 30% dari biaya pokok produksi [BPP], maka minimal HET gula seharusnya mencapai Rp14.000/kg [jika HPP GKP dinaikkan menjadi Rp10.500/kg],” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (13/2/2019).

Adapun, sebelumnya, dalam pertemuan antara Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dengan Presiden Joko Widodo pada 6 Februari, para petani mengusulkan agar HPP GKP yang saat ini ditetapkan Rp9.700/kg dinaikkan menjadi Rp10.500/kg. (Bisnis 7/2)

Usulan besaran terbaru HPP itu diklaim telah disesuaikan dengan BPP gula di tingkat petani yang juga mencapai Rp10.500/kg.

Namun, Khudori berpendapat, jika berkaca dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas gula selama lima tahun terakhir telah meyumbang kenaikan inflasi hingga tiga kali. Dengan demikian, dia melihat kenaikan harga GKP akibat perubahan HPP akan berdampak kepada daya beli masyarakat.

Di sisi lain, Khudori juga mengkritisi usulan APTRI yang meminta agar HET GKP turut dihapuskan.

Pasalnya, dia melihat usulan tersebut seharusnya dibarengi dengan kebijakan lain, yakni dengan diaktifkannya kembali  skema dana talangan gula yang sempat diberlakukan sejak 2002.

“Dengan dihapusakannya HET dan membiarkan skema pasar terjadi, maka akan jadi bumerang bagi petani. Terlebih, saat ini pemerintah sedang gemar mengobral impor gula. Kalau tidak dibatasi, kenaikan harga gula bisa gila-gilaan, dan pemerintah bisa saja mengambil jalan pintas stabilisasi harga dengan mengimpor gula [lebih banyak lagi],” jelasnya.

Untuk itu, dia melihat, skema dana talangan gula lebih baik diaktifkan kembali. Menurutnya, skema itu akan mempermudah pemerintah melakukan pengawasan dan penegakan pergerakan harga gula sesuai dengan HPP.

Namun, lanjut Khudori, skema dana talangan harus diperbarui di mana porsi pembagian keuntungan di petani lebih besar. Pada 2002, pemerintah menetapkan apabila harga lelang gula di atas harga talangan yang ditetapkan pemerintah, maka keuntungan dibagi antara petani 40% dan investor 60%.

Sebaliknya, apabila harga lelang gula di bawah harga talangan, maka investor harus mengganti selisih itu ke petani.

“Jadi, dengan skema ini, petani bisa terlindungi. Sementara  itu, HPP dengan mudah dipatuhi pelaku pergulaan,” pungkasnya.

WAJIB DIREVISI

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengatakan, HET GKP wajib direvisi apabila HPP dinaikkan.

Bagaimanapun, dia memperingatkan, kenaikan HET itu pada akhirnya akan memengaruhi daya beli masyarakat.

“Memang kalau dilihat dari porsi konsumsi gula secara langsung di rumah tangga relatif kecil. Namun, kita juga harus melihat bahwa GKP ini masih banyak digunakan oleh industri kecil dan menengah di sektor [industri] makanan dan minuman [mamin],” ujarnya.

Dia menyebutkan, dengan adanya kenaikan harga gula secara signifikan akibat kebijakan itu, margin kentungan industri mamin yang menggunakan GKP sebagai bahan baku akan makin tergerus.

 Alhasil, secara tidak langsung, pelaku di sektor tersebut akan menaikkan harga produknya.

Ketika dihubungi secara terpisah, Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen mengklaim, keberadaan HET justru merugikan petani.

Pasalnya, petani dipaksa oleh pemerintah untuk mematuhi harga penjualan yang dipatok pada level yang tidak wajar.

“Kalau kenaikan harga gula akibat dinaikkannya HPP dan dihapuskannya HET yang dihubungkan dengan potensi kenaikan harga makanan dan minuman, saya rasa tidak masuk akal. Harga makanan dan minuman di Indonesia ini masih terbilang murah. Lihat di luar negeri, harga makanan serupa di Indonesia masih jauh lebih mahal,” jelasnya.

Untuk itu, dia menilai, kenaikan harga GKP di pasaran akibat dikereknya besaran HPP dan dihapuskannya HET tidak akan berdampak banyak terhadap daya beli masyarakat.

Soemitro justru memperkirakan, konsumsi gula akan tetap tinggi, terlebih melihat gaya mengkonsumsi makanan masyarakat Indonesia.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai perkembangan kebijakan perubahan HPP, GKP Soemitro mengaku belum mendapatkan undangan lanjutan dari Presiden Joko Widodo.

Padahal, lanjutnya, presiden menjanjikan akan mengajak petani untuk bergabung dalam pembahasan secara lebih lanjut wacana kenaikan HPP itu.

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, hingga saat ini belum ada instruksi khusus kepada kementerian terkait untuk membahas kenaikan HPP tersebut.

Dia mengaku, masih akan menuggu arahan langsung dari Presiden sebelum melakukan rapat koordinasi.

“Belum ada arahan untuk membahas HPP [dari presiden]. Jadi saya belum bisa sebutkan apa yang harus kami lakukan,” jelasnya.

Sebelumnya, dalam pertemuan dengan APTRI, Presiden Joko Widodo menjanjikan akan membentuk tim untuk membahas wacana kenaikan HPP itu. Dia menyatakan, keputusan setidaknya akan keluar dalam waktu satu pekan sejak pertemuan yang dilaksankan di Istana negara itu dilakukan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan belum lama ini mengatakan, apabila HPP GKP dinaikkan, maka akan berdampak kepada meningkatnya harga gula petani di pasar lelang.

Namun demikian, dia memperkirakan, kenaikan harga lelang gula tersebut, justru akan berdampak negatif kepada petani sendiri.

“Masalahnya yang beli gula di lelang adalah pedagang. Mereka tentu ingin cari produk yang semurah mungkin. Ketika harga naik, apakah para pedagang ini mau untuk membeli? Kan semuanya bergantung dari penawaran para pedagang selaku pembeli di pasar lelang. Sebab, dengan harga lelang yang rendah saat ini saja,  banyak gula yang tidak laku.”

Agus berharap pemerintah menyiapkan alternatif lain dari sisi tata niaga GKP selain menaikkan HPP. Salah satunya dengan menyiapkan mekanisme pengambilalihan peran pasar oleh pemerintah dengan menyediakan dana talangan untuk penyerapan gula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper