Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kiriman Remitansi Tahun Ini Ditaksir Naik 23%

Remitansi pekerja migran pada tahun ini diperkirakan akan naik sebesar 23% dari perolehan remitansi pada akhir tahun lalu yang mencapai US$10,8miliar. 
Antrean TKI di Bandara/Bisnis
Antrean TKI di Bandara/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA -- Remitansi pekerja migran pada tahun ini diperkirakan akan naik sebesar 23% dari perolehan remitansi pada akhir tahun lalu yang mencapai US$10,8miliar. 

Media Relations Manager Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Vera Ismainy mengatakan sepanjang tahun ini, penerimaan remitansi dari pekerja migran berpotensi mengalami besaran peningkatan yang sama perolehan remitansi di tahun 2018 yang mencapai US$10,8 miliar atau naik sebesar 23% dari tahun 2017 yang mencapai US$8,78 miliar. 

"Bisa naik di tahun ini. Potensinya bisa sama seperti kenaikan remitansi di tahun lalu yang naik 23% dari tahun 2017," ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (12/2/2019).

Potensi peningkatan ini disebabkan adanya kemungkinan pemerintah memberhentikan moratorium pengiriman pekerja migran ke negara Timur Tengah. 

Lalu dengan adanya beberapa kerjasama seperti kesepatan CEPA Indonesia-Australia yang memungkinkan adanya peningkatan pendapatan oleh para pekerja migran Indonesia di sana. 

"Saat pemberlakukan moratorium saja peningkatannya lumayan, gimana kalau moratorium dicabut dan implementasi dari kerjasama-kerjasama tadi dilakukan," katanya. 

Untuk meningkatkan jumlah pekerja migran yang bekerja melalui jalur legal, pemerintah diminta mendorong adanya penyederhanaan regulasi untuk pendaftaran pekerja migran. 

Penyederhanaan regulasi untuk pendaftaran pekerja migran penting diwujudkan untuk meminimalkan atau bahkan bisa menghilangkan potensi adanya pengiriman pekerja migran lewat cara ilegal. 

"Berangkat sebagai pekerja migran ilegal hanya akan merugikan mereka karena mereka tidak tercatat dan rawan mengalami berbagai tindak kekerasan dan kerugian secara ekonomi," ucap Vera. 

Penyederhanaan perlu dilakukan karena biaya yang dibebankan saat pendaftaran tidaklah kecil. 

Pasalnya, untuk mendaftar sebagai asisten rumah tangga, seorang calon pekerja migran harus menyiapkan uang sebesar Rp8 juta atau US$600 dan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat bulan. 

Tentunya, besaran biaya itu setara dengan 2/3 upah minimum tahunan di banyak kota di Pulau Jawa. 

Tingginya biaya pendaftaran sudah pasti menciptakan beban finansial bagi para calon pekerja migran. 

Ditambah lagi, rumitnya regulasi juga membuat calon pekerja migran ini akhirnya terpaksa bergantung pada calo atau agen yang tidak jarang hanya mengeksploitasi tanpa memperhatikan tiap prosedur yang harus dijalankan.

"Pemerintah juga bisa memaksimalkan peran Puskesmas dengan memperbolehkan para calon pekerja migran untuk menjalani tes kesehatan sebagai bagian dari persyaratan pendaftaran," tuturnya.

Untuk mencegah pekerja migran yang bekerja melalui jalur ilegal, pemerintah dapat menggunakan basis data E-KTP dalam proses validasi data bagi para pekerja migran. Hal ini penting dilakukan karena ini merupakan salah satu tahapan bagi pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negaranya, dan ini tidak terikat oleh faktor lokasi dan geografi.

Pemerintah juga diminta mengubah sistem penempatan dan pengiriman pekerja migran keluar negeri secara drastis. Salah satu hal yang dapat dilakukan dengan membuat mekanisme survei penempatan. 

"Survei ini dilakukan untuk menilai apakah tempat kerja atau calon pemberi kerja yang akan memperkerjakan para pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran yang menjadi asisten rumah tangga, layak untuk mempekerjakan mereka," ujarnya. 

Untuk mencegah terjadinya kasus hukum para pekerja migran, sambung Vera, diperlukan peningkatan sistem monitoring bagi para pekerja migran yang sudah ditempatkan. 

Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui kondisi mereka selama bekerja ditempat tersebut. Dengan sistem ini diharapkan bisa mendeteksi potensi masalah sedini mungkin. 

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengatakan penerimaan remitansi pekerja migran diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun ini. 

Peningkatan remitansi pekerja migran pada tahun lalu dikarenakan adanya kenaikan gaji di beberapa negara yang berdampak pada jumlah remitansi pekerja migran yang meningkat pada tahun lalu. 

Selain itu, kenaikan jumlah remitansi pekerja migran juga akibat banyaknya pekerja migran yang mengirimkan uang dengan menggunakan money transfer operator (MTO) resmi dan tak lagi melalui toko Indonesia. 

"Sekarang sudah tak lagi menggunakan toko di Indoneaia yang kerap kali menggunakan barter dengan barang sehingga ini yang pengaruh pada remitansi pekerja migran," katanya. 

Pada tahun ini, pihaknya akan fokus peningkatan skill para pekerja migran. Hal itu dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada pekerja migran. 

Selain itu, melakukan deregulasi penyederhanaan proses penempatan sehingga akan mengurangi pekerja migran yang bekerja melalui jalur ilegal.

"Kami juga akan melakukan penataan  kelembagaan baru BNP2TKI sejalan dengan aturan yang baru," ucap Nusron. 

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menuturkan kenaikan remitansi pekerja migran disebabkan pekerja migran yang sudah terliterasi dalam pengiriman uang menggunakan agen resmi. 

Selain itu, perolehan remitansi di tahun lalu juga disebabkan adanya pergeseran pekerja migran yang memilih bekerja di kawasan Asia ketimbang di Timur Tengah. 

Pasalnya, gaji yang diterima di kawasan Asia lebih tinggi sehingga hal itulah yang berdampak kepada naiknya remitansi pekerja migran. 

Seiring mengalami kenaikan perolehan remitanai, pihaknya berharap pemerintah tetap meningkatkan kualitas skill para pekerja migran. 

Hal itu agar para pekerja migran dapat bersaing dengan pekerja migran asal dari negara lain. 

"Skill tetap ditingkatkan. Selain skill juga mental pekerja migran harus kuat. Karena bekerja di negeri orang itu tak mudah," ujarnya. 

Wahyu menambahkan yang menjadi tugas pemerintah di tahun ini pula yakni membebaskan pekerja migran yang tengah menjalani sidang proses hukuman mati sebanyak 21 orang di Arab Saudi dan 114 orang di Malaysia. 

"Kami berharap tak ada lagi eksekusi hukuman mati. Antar kementerian harus berkoordinasi agar dapat membebaskan mereka yang tengah menjalani proses hukuman mati," tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper