Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Isu Ekonomi Jelang Debat Pilpres Jilid II

Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai calon penantang, Prabowo memiliki segudang senjata untuk menyerang berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintahan calon petahana Joko Widodo.
Ilustrasi sosialisasi Debat Kedua Calon Presiden Pemilu 2019 yang digelar di Hotel Sultan Jakarta, Minggu (17/2/2019) dengan tema: Energi dan Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, serta Infrastruktur./Istimewa
Ilustrasi sosialisasi Debat Kedua Calon Presiden Pemilu 2019 yang digelar di Hotel Sultan Jakarta, Minggu (17/2/2019) dengan tema: Energi dan Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, serta Infrastruktur./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai calon penantang, Prabowo memiliki segudang senjata untuk menyerang berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintahan calon petahana Joko Widodo.

Isu-isu utang, kebocoran anggaran, dan rendahnya tax ratio kerap terlontar dari mulut mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ini. Sebenarnya jika melihat kondisi saat ini omongan Prabowo ada benarnya juga, utang memang membumbung tinggi, kebocoran anggaran terus terjadi, serta rasio pajak Indonesia memang cukup rendah dibandingkan standar yang diterapkan IMF.
Sebagian dari kritik sosok yang untuk ketiga kalinya ikut kontestasi pemilihan presiden baik di posisi sebagai capres atau cawapres diakui oleh pihak yang sekarang menjabat sebagai eksekutif. Hanya saja, untuk menyatakan apakah tiga parameter itu dijadikan argumentasi untuk menyebut bangsa ini dikelola secara "ugal-ugalan" tentu perlu mengkajinya secara proporsional.
Soal utang misalnya, total utang pada akhir 2018 memang cukup tinggi yakni sebesar Rp4.418,3 triliun. Tetapi jika dibandingkan dengan PDB total utang pemerintah pusat sampai 2018 hanya 29,7% dari PDB 2018 sebesar Rp14.837,4 triliun. Ini membuktikan jika mengacu ke UU Keuangan Negara, rasio utang masih di bawah 60% alias belum melanggar undang-undang.
Selain itu, yang paling luput dari perdebatan, utang terus menjadi salah satu instrumen di dalam APBN. Apalagi saat ini pemerintah masih menganut rezim defisit anggaran. Artinya sejak pemerintah mengadopsi standar dari International Goverment Finance Statistics pada awal 2000-an, instrumen pembiayaan alias utang menjadi kesatuan dalam pengelolaan anggaran. 
Data lainnya yang bisa digunakan untuk mengukur parah atau tidaknya pengelolaan anggaran adalah keseimbangan primer. Keseimbangan primer bisa digunakan untuk melihat seberapa besar ketergantungan pemerintah terhadap utang.
Semakin kecil defisit keseimbangan primer, ketergantungan pemerintah terhadap utang juga semakin rendah. Data Kementerian Keuangan menunjukan defisit keseiambangan primer dalam APBN 2018 sebesar Rp1,8 triliun atau 0,01% terhadap PDB hampir mendekati surplus. Angka itu juga menunjukan pengelolaan anggaran samakin baik jika dibandingkan tahun 2015 sebesar 1,23% terhadap PDB.
Hanya saja, harus diakui bahwa peforma anggaran baik dari aspek utang maupun keseimbangan primer, sangat ditentukan oleh peforma pendapatan negara. Beruntung tahun lalu, pendapatan negara melebihi target alias surplus, sebagai akibat dari meroketnya harga minyak. Surplus dari aspek pendapatan negara sedikit mengobati kinerja belanja yang disetel cukup ekspansif.
Persoalannya, akankah surplus pendapatan negara akan berulang tahun ini?
Jawabannya tentu akan beragam, pasalnya penerimaan dari minyak yang tahun lalu menjadi semacam soko guru, belum tentu terulang. Apalagi, ada tren yang menunjukan harga minyak ada kecenderungan turun, artinya penerimaan dari sektor ini diproyeksikan oleh kalangan pengamat tak seatraktif tahun lalu.
Di satu sisi ada satu problem struktural dalam pendapatan negara. Tax ratio masih di bawah 16% atau hanya di kisaran 11%. Rendahnya tax ratio bisa dimaknai bahwa pemungutan pajak belum optimal. Gap antara potensi penerimaan dengan pajak yang dikumpulkan masih terlalu besar.
PPN misalnya gap - nya masih cukup tinggi. Jika diukur dengan skema VAT Ratio, saat ini VAT ratio masih berada di angka 3,6% dari PDB, padahal di beberapa negara rasionya bisa mencapai 4% - 6% dari PDB. 
Dengan kondisi anggaran yang semakin besar dan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan yang lumayan besar pula, jalan satu-satunya untuk memperbaiki peforma anggaran adalah dengan menaikan rasio pajak, cuma bagaimana cara menaikan rasio pajak di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil? 
Tunggu saja, semoga debat-debat selanjutnya ada solusi yang ditawarkan para kandidat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper