Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rencana Penghapusan Wajib LS Ekspor Berisiko Ganggu Industri Domestik

Penghapusan kewajiban laporasn surveyor (LS) terhadap empat komoditas dinilai berdampak terbatas terhadap kinerja ekspor, dan justru berpotensi mengganggu industri dalam negeri.
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Penghapusan kewajiban laporasn surveyor (LS) terhadap empat komoditas dinilai berdampak terbatas terhadap kinerja ekspor, dan justru berpotensi mengganggu industri dalam negeri.

Adapun, pemerintah menyebutkan akan menghapuskan kewajiban penyertaan dokumen LS terhadap empat komoditas yakni minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, gas pipa, rotan setengah jadi serta kayu gelondongan (log) dari tanaman industri. Kebijakan untuk CPO dan gas pipa, rencananya akan dieksekusi   pada pekan ini sementara dua komoditas lainnya masih dalam tahap pembahasan. 

Menanggapi rencana pemerintah itu, Ketua Umum Gabugan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPE) Benny Soetrisno menilai, pembebasan LS untuk ekspor kayu gelondongan dari tanaman industri harus dikaji ulang lantaran bakal memberatkan industri di dalam negeri.

“[Pembebasan wajib LS] ntuk kayu log tanaman industri harus dikaji ulang. Selama ini kita mendengar ada kesulitan pasokan bahan baku kepada industri mebel dan kayu olahan. Kalau LS dihapuskan, ada potensi, ekspor produk kayu mentah justru meningkat,” jelasnya kepada Bisnis.com, Selasa (5/2/2019).

Untuk itu, dia meminta agar pemerintah memperhatikan proses penghiliran di dalam negeri. Pasalnya, dengan dilonggarkannya prosedur ekspor produk mentah, seperti kayu gelondongan, maka akan membuat industri hilir komoditas itu semakin tertekan.

Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur berpendapat, kebijakan tersebut membebani industri kayu di hilir. Dia menilai, tanpa adanya LS, potensi kebocoran ekspor produk kayu mentah akan kian tinggi.

“Kalau semua pemeriksaan diserahkan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, potensi kebocoran ekspor produk mentah semakin besar. Sebab, selama ini kewajiban LS menjadi benteng agar ekspor produk mentah seperti kayu log tidak terjadi secara besar-besaran.”

Menurutnya, saat ini para produsen mebel dan kayu olahan sedang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan bahan baku. Hal itu membuat para pelaku di sektor tersebut harus memutar otak untuk mendapatkan bahan baku.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, kebijakan penghapusan kewajiban LS untuk produk CPO dan turunannya tidak akan berdampak banyak terhadap ekspor komoditas tersebut.

Pasalnya, para eksportir komoditas itu tetap akan menggunakan LS sebagai salah satu dokumen untuk melakukan ekspor.

“Para importir CPO  hampir mayoritas meminta dokumen LS. Sebab mereka butuh kelengkapan dokumen pemeriksaan dari lembaga independen selain pemerintah. Maka dari itu, sebagian besar dari kami akan tetap menggunakan LS, meskipun nanti dihapuskan kewajibannya,” jelasnya.

Selain itu, dokumen LS selama ini dibutuhkan  oleh anggota Gapki sebagai dokumen acuan untuk menentukan pungutan ekspor dan juga penyelesaian perselisihan apabila terjadi sengketa perdagangan antara penjual dan pembeli maupun sesama penjual.

Untuk itu, dia meminta agar pemerintah memperjelas kebijakan penghapusan kewajiban LS tersebut. Pasalnya, menurut dia, tidak semua eksportir CPO dan produk turunannya akan memanfaatkan kebijakan tersebut, kendati tujuan utamanya demi mengurangi ongkos produksi dan memperpendek waktu ekspor.

HAMPIR PASTI

Scara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dua komoditas yang hampir pasti dibebaskan dari kewajiban LS adalah ekspor gas melalui pipa dan CPO. Sementara itu,  untuk kayu log dari tanaman industri dan rotan setengah jadi, pemerintah masih terus memperlajarinya secara mendalam.

“Intinya dari kebijakan ini adalah memangkas prosedural ekspor yang berganda. Kalau bisa disederhanakan kenapa tidak. Arahnya memang untuk sementara CPO dan gas pipa dulu, yang lain belum bisa dijelaskan seperti apa ke depannya,” kata dia.

Dia menyatakan, kendati kebijakan tersebut ditujukan untuk memacu kinerja ekspor pada tahun ini, dia mengaku belum dapat memproyeksikan besaran kenaikan ekspor CPO dan gas melalui pipa akibat kebijakan itu. Pasalnya, kenaikan ekspor sangat berkaitan erat dengan permintaan dari luar negeri.

“Kita hanya bisa dorong dari sisi suplai dulu. Suplainya dimudahkan, dan harapannya permintaan akan ikut naik karena dimudahkan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan,  Kemendag telah menyiapkan draft peraturan menteri perdagangan untuk penghapusan LS bagi ekspor CPO dan gas melalui pipa.

Namun, menurutnya, beleid itu masih harus melalui proses harmonisasi dan finalisasi yang akan ditentukan melalui rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian.

“Untuk ekspor CPO dan gas melalui pipa harapannya dalam waktu dekat bisa kami eksekusi. Sementara kayu log dan rotan setengah jadi, perlu pembahasan lebih detail lagi karena harus ada mitigasi risiko yang kuat. Sebab dua produk terakhir itu masih masuk produk larangan ekspor,” jelas dia.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, penghapusan kewajiban LS, terutama  untuk ekspor CPO diharapkan dapat mengurangi biaya dan waktu proses ekspor. Kebijakan itu, menurutnya, akan membuat proses ekspor komoditas andalan RI itu menjadi lebih efisien dan mendorong daya saingnya di pasar global.

“Kalau dari sisi penghematan ongkos produksi, berdasarkan data 2018, biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan melalui lembaga surveyor oleh produsen CPO bisa mencapai sekitar Rp100 miliar per tahun, ini penghematan yang besar menurut kami,” jelas dia.

Sementara itu dari sisi efisiensi waktu, menurut Susiwijono, penghapusan kewajiban LS ditargetkan dapat membuat proses ekspor hanya akan memakan waktu rata-rata 10 jam. Saat ini, lanjut dia, dengan adanya kewajiban LS, rata-rata lama waktu ekspor CPO mencapai 124 jam. 

 

Poin-Poin Rencana Kebijakan dalam Peningkatan Ekspor oleh Pemerintah:

  • Keputusan Rakor: Kebijakan mendorong ekspor dalam jangka pendek akan lebih difokuskan pada upaya peningkatan daya saing ekspor melalui simplifikasi prosedur ekspor dengan cara melakukan pengurangan komoditi wajib LS dan pengurangan Lartas ekspor.
  • Telah disepakati, pada tahap awal ada 4 kelompok komoditi ekspor yang akan dibebaskan dari kewajiban LS (dihapuskan kewajiban LS ekspornya), yaitu:
    • Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya
    • Gas yang diekspor melalui pipa
    • Rotan setengah jadi
    • Kayu Log dari Tanaman Industri 
  • Pada awal Februari 2019 ini akan segera dilakukan penghapusan kewajiban LS untuk 2 kelompok komoditi terlebih dahulu, yaitu komoditi CPO dan Gas melalui pipa, dengan melakukan perubahan (revisi) Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kewajiban LS atas kedua produk tersebut.

 

Sumber: Dokumen Kemenko Perekonomian, 2019

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper