Mantan Menkeu Chatib Basri Ingatkan Pemerintah Tak Terlena Penguatan Rupiah
Bisnis.com, JAKARTA--Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai pemerintah perlu melakukan pendalaman pasar keuangan dengan mendorong investor lokal untuk menempatkan investasinya pada obligasi pemerintah. Hal ini agar pasar obligasi dan modal kita tidak tergantung pada pembiayaan eksternal.
Menurutnya, pasar keuangan Indonesia masih rentan, salah satunya karena persoalan defisit transaksi berjalan. Rupiah dan pasar keuangan memiliki risiko akan terguncang lagi seiring dengan perubahan kondisi global.
"Pemerintah juga bisa menerapkan reverse Tobin Tax. Jika dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak. Maka dalam reverse Tobin Tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan re-investasi keuntungannya untuk jangka panjang," tulisnya melalui akun facebook resminya Muhammad Chatib Basri Penuh, Senin (7/1/2019).
Menguatnya rupiah belakangan ini dipicu oleh sentimen dari pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell yang mengatakan The Fed akan 'bersabar' dalam menaikkan tingkat bunga di AS. Dia pun menduga arus modal akan kembali mengalir lagi ke Indonesia dan pasar keuangan kembali bergairah.
Namun demikian, dia mengingatkan pemerintah dan pelaku pasar agar tak terlena dengan kondisi tersebut.
Baca Juga
"Namun saya ingin mengingatkan sejak dini. Arus modal ini satu hari akan kembali lagi keluar karena sifatnya hot money. Jika Fed kemudian kembali lagi menaikkan bunga dengan cepat, maka situasi 2018 akan berulang," cuitnya melalui akun resmi twitternya.
Berdasarkan data Bloomberg, Senin (7/1/2019), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 187 poin atau 1,31% di level Rp14.083 per dolar AS setelah bergerak pada kisaran Rp14.022-Rp14.184 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah sebelumnya dibuka menguat 0,64% atau 92 poin di level Rp14.178 per dolar AS, setelah pada perdagangan Jumat (4/1) ditutup menanjak 1,02% atau 147 poin di level Rp14.270 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah melonjak ke level terkuatnya sejak Juni 2018 terhadap dolar AS setelah langkah pelonggaran moneter lebih lanjut dari pemerintah China dan harapan atas meredanya tensi perdagangan antara AS dan China memacu daya tarik aset berisiko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel