Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengkaji Efektivitas Sawit Sebagai Alat Diplomasi Dagang

Kerap kali, minyak kelapa sawit dijadikan ‘senjata’ Indonesia ketika menjalin kesepakatan atau menggawangi lobi-lobi dagang dengan negara mitra.
Minyak sawit/Istimewa
Minyak sawit/Istimewa

Bisnis.com,  JAKARTA -- Kerap kali, minyak kelapa sawit dijadikan ‘senjata’ Indonesia ketika menjalin kesepakatan atau menggawangi lobi-lobi dagang dengan negara mitra.

Tengok saja, sejumlah pakta kerja sama dagang dan ekonomi yang dinegosiasikan pemerintah sepanjang tahun ini. Mulai dari Indonesia-Pakistan PTA, Indonesia-EFTA CEPA, Indonesia-Uni Eropa CEPA, hingga Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP), hampir semuanya menyertakan crude palm oil (CPO) sebagai salah satu komoditas yang diperjuangkan aksesnya oleh RI.

Selain itu, ada pula kesepakatan antarpemerintah di luar pakta dagang dengan negara mitra yang juga menyertakan CPO sebagai salah satu produk ‘barter’. Salah satunya dilakukan oleh Menteri Perdagangan Enggartisto Lukita ketika mengunjungi Amerika Serikat pada Agustus 2018.

Kala itu, Enggar melobi Boeing untuk menggunakan bioavtur berbahan CPO sebagai bahan bakar pesawat buatan mereka. Sebagai gantinya, dia secara tak langsung menjanjikan bahwa Indonesia akan melakukan pembelian pesawat Boeing yang menggunakan bioavtur tersebut.

Selanjutnya, dengan India, ketika negara tersebut meminta agar bea masuk (BM) gula di Indonesia diturunkan pada Juli 2018. Dalam hal ini, Pemerintah RI bersedia menuruti permintaan tersebut, dengan syarat BM CPO di India ikut direduksi.

Langkah serupa juga dilakukan ketika Presiden Indonesia Joko Wido­do menerima kunjungan Perdana Men­teri China Li Keqiang pada Mei. Dalam pertemuan tersebut China sepa­kat mengimpor 500.000 ton CPO RI.

Namun, dari sekian banyak upaya memasarkan CPO, kinerja ekspor komoditas tersebut tak kunjung membaik. Harga CPO pada perdagangan Kamis (6/12) di Bursa Derivatif Malaysia turun 0,8% ke level 1.979 ringgit/ton. Harga tersebut mendekati level terendahnya selama 3 tahun terakhir.

Selain itu, nilai ekspor CPO sepanjang tahun ini juga tak kunjung membaik. Berdasarkan data BPS, selama Januari—Okober 2018, nilai ekspor komoditas itu terkoreksi 9,94% secara tahunan menjadi US$17,10 miliar.

Ketua Bidang Perdagangan dan Promosi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Master P. Tumanggor mengakui dampak dari strategi penyertaan CPO dalam setiap misi dagang Indonesia tahun ini masih sangat terbatas.

Dia mengatakan, pukulan terbesar bagi CPO Indonesia muncul ketika India menaikkan BM komoditas tersebut. Pada saat bersamaan, Indonesia dan Malaysia mengalami kelebihan pasokan minyak sawit.

“Para negosiator dan pejabat Indonesia sangat aktif menjual CPO. Tidak ada keraguan pada kemampuan mereka. Persoalannya adalah adanya sentimen tarif dari India dan makin besarnya tren anti-CPO di Barat. Hal itu membuat nilai maupun volume ekspor kita tidak pernah maksimal tahun ini,” ujarnya.

Tumanggor juga menilai, semangat populisme di Eropa dan India untuk melindungi petani minyak nabati nonsawit membuat akses pasar CPO tersumbat.Akibatnya, awan kelam terus membayangi industri sawit kendati telah didukung dengan berbagai cara.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, dalam perundingan IEU-CEPA, negosiator RI memasukkan ketentuan akses pasar CPO dalam topik kebijakan pembangunan berkelanjutan.

“Persoalannya ada di permintaan masyarakat Eropa. Kalaupun kita sudah dapatkan akses pasar, di bayangan mereka, CPO sudah terpatri sebagai produk yang tidak baik. Belum lagi kampanye hitam yang dila­kukan politisi Eropa dengan dalih melin­dungi petani bunga matahari,” jelas dia.

Dengan demikian, upaya Indonesia untuk memaksa CPO ikut serta dan menjadi bahan ’barter’ di setiap perundingan perdagangan internasional belum tentu menjadi solusi jitu untuk mengerek ekspor komoditas tersebut. Terlebih, sifat CPO yang meru­pakan produk mentah atau peno­long industri, sewaktu-waktu bisa disubstitusi oleh produk nabati lainnya.

Satu-satunya cara yang dapat ditempuh saat ini adalah dengan memperbanyak riset dan jurnal mengenai keunggulan CPO terhadap minyak nabati lain untuk kampanye positif. Tanpa adanya bekal mendasar tersebut, kampanye hitam CPO akan terus meluas sehingga permintaan langsung dari tiap individu terhadap komoditas itu tidak akan pernah bertambah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper