Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Defisit Dagang Melebar, Efektivitas Kebijakan Pengendalian Impor Dipertanyakan

Kebijakan pengendalian impor dinilai tidak efektif  yang tercermin dari neraca perdagangan Indonesia defisit US$1,82 miliar pada Oktober 2018 seiring dengan arus impor yang kembali meningkat 20,6%.
Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok, Jakarta/Reuters-Beawiharta
Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok, Jakarta/Reuters-Beawiharta

Bisnis.com, JAKARTA -- Kebijakan pengendalian impor dinilai tidak efektif  yang tercermin dari neraca perdagangan Indonesia defisit US$1,82 miliar pada Oktober 2018 seiring dengan arus impor yang kembali meningkat 20,6%.

Nilai defisit ini disebabkan oleh dari posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$15,80 miliar atau lebih rendah dibandingkan nilai neraca impor sebesar sebesar US$17,63 miliar.

Direktur Eksekutif Core Indonesia, Muhammad Faisal mengungkapkan defisit tersebut sesuai dengan prediksinya bahwa Oktober akan kembali defisit dan cukup dalam. Hal ini pun membukti surplus US$227 juta September lalu memang hanya seasonal.

"Implementasi kebijakan PPh impor barang konsumsi di awal september masih belum efektif, terbukti impor barang konsumsi di oktober masih tumbuh tinggi 20%," ungkapnya kepada Bisnis, Kamis (15/11/2018).

Kebijakan pengendalian impor yang pemerintah lakukan berupa mandatori B20, penaikan PPh Impor 1.147 komoditas dan optimalisasi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dia nilai belum efektif.

Khususnya, pengendalian dengan menekan impor barang konsumsi PPh impor, menurutnya tidak menyasar pada permasalahan utama yakni penguatan struktur ekonomi dan pendalaman industri.

"Karena penyumbang impor terbesar kita adalah bahan baku dan penolong industri, karena ketergantungan yang begitu besar pada bahan baku dan penolong dari luar. Artinya, industri hulu tidak kuat dan kalaupun ada, memiliki hubungan yang lemah dengan industri hilirnya," jelasnya.

Lebih lanjut, impor barang konsumsi presentasenya kecil. Jadi, katanya, kalau ingin menekan impor dengan mengenakan PPh impor barang konsumsi saja jelas efeknya minimal.

Sementara itu, program B20 menurutnya lebih memiliki pengaruh yang baik. Sebab, memang kemampuan untuk produksi minyak semakin terbatas, sementara permintaan setiap tahun meningkat.

Dengan demikian, kebutuhan energi perlu dialihkan secara berangsur-angsur ke energi non-migas khususnya yang terbarukan seperti sawit, apalagi produksi sawit berlimpah.

"Untuk program ini [mandator B20] yang dibutuhkan adalah keseriusan mensinergikan para pelaku dari hulu seperti produsen minyak dan sawit sampai hilir industri pemakai, serta konsistensi kebijakan hingga jangka panjang, bukan hanya berfikir jangka pendek," paparnya.

Dia pun mencatat ada perlambatan pertumbuhan impor yang relatif kecil. Januari-- Oktober 2018 secara kumulatif tumbuh 25,7% sementara di Oktober 20,6%. Artinya, rata-rata pertumbuhan pada bulan-bulan sebelumnya lebih tinggi.

Faisal pun memprediksi sampai akhir tahun defisit kumulatif akan berkisar US$ 6 miliar. "US$6 miliar itu sudah angka sangat moderat, potensinya malah bisa sampai US$7 miliar," imbuhnya.

Berdasarkan tahun kalender, sepanjang Januari hingga Oktober 2018, neraca perdagangan juga mengalami defisit sebesar US$5,5 miliar. Defisit ini berasal dari defisit migas dengan defisit US$10,7 miliar dari Januari-Oktober 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper