Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terimbas Rupiah, Peritel Pesimistis Memandang Prospek Kuartal IV/2018

Pengusaha ritel masih pesimistis memandang prospek bisnis mereka pada pengujung tahun ini, di tengah kondisi ekonomi yang lesu akibat depresiasi rupiah. 

Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha ritel masih pesimistis memandang prospek bisnis mereka pada pengujung tahun ini, di tengah kondisi ekonomi yang lesu akibat depresiasi rupiah. 

Bagaimanapun, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey berharap pertumbuhan ritel pada kuartal terakhir tahun berjalan bisa mencapai 11%—12 agar target pertumbuhan industri ritel sebesar 10%—11% sepanjang tahun ini dapat tercapai.

“Kuartal III/2018 pertumbuhan hanya 7%, lalu kuartal II/2018 mencapai 15% karena Lebaran dan kuartal I/2018 kemarin capai sekitar 8%,” katanya, Rabu (7/11/2018).

Dia berharap konsumsi masyarakat menjelang Natal dan Tahun Baru bisa kembali diandalkan untuk mengerek pertumbuhan penjualan ritel.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menuturkan, industri ritel kembali meredup karena masih bergantung pada konten impor dan tertekan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Selain itu, sebutnya, pelemahan iklim bisnis ritel dipengaruhi daya beli konsumen yang stagnan di level 5%.

“Bahkan, pada kuartal III/2018 [daya beli konsumen] melandai ke level 5,01% karena efek Lebaran usai.”

Untuk mendongkrak sektor ritel, sarannya, para peritel dapat mengoptimalkan momentum libur akhir tahun dan Natal pada kuartal IV agar terjadi peningkatan belanja konsumen dan produksi oleh pelaku usaha. “Terlebih, lagi libur akhir tahun bersamaan dengan libur anak sekolah,” kata Eko.

Selain itu, untuk memastikan bahwa potensi peningkatan permintaan pada akhir tahun diisi oleh kegiatan ekonomi domestik, para pelaku UMKM juga didorong seluas-luasnya memanfaatkan momentum ini.

“Termasuk saat Harbolnas yang akan diadakan pada 12 Desember. Kesempatan itu perlu melibatkan seoptimal mungkin produk-produk dalam negeri,” tuturnya.

Untuk itu, pemerintah dinilai perlu memberikan insentif bagi peritel yang menjual produk dalam negeri. Insentif juga dapat diberikan kepada konsumen yang membeli produk dalam negeri dengan mendapat diskon lebih besar.

“Insentif ini akan meningkatkan daya beli konsumen dan penjualan ritel,” ucap Eko.

Berdasarkan data BPS pada kuartal III/2018, Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada level 108,05 menunjukkan kondisi bisnis secara umum terus tumbuh, walaupun optimisme pebisnis lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 112,82.

Kondisi bisnis pada kuartal IV-2018 diperkirakan meningkat, tetapi optimisme pebisnis lebih rendah dari kuartal sebelumnya. Kondisi tersebut tercermin dari angka ITB sebesar 106,45. Peningkatan kondisi bisnis diperkirakan terjadi di seluruh kategori lapangan usaha.

Sementara itu, Indeks Tendensi Konsumen (ITK) kuartal III/2018 yang sebesar 101,23 menunjukkan konsumen masih merasakan peningkatan kondisi ekonomi, walaupun dengan optimisme yang lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 125,43.

ITK pada kuartal IV/2018 diperkirakan sebesar 103,29 yang menunjukkan kondisi ekonomi dan optimisme konsumen akan meningkat.

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Ali Soebroto menuturkan, nilai tukar rupiah yang melemah dan kebijakan pengenaan pajak PPH 22 impor turut memukul industri elektronik sepanjang tahun ini.

“Tahun ini lebih berat bagi kami dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kami perkirakan akan ada penurunan penjualan sekitar 10% dibandingkan dengan tahun lalu,” ujarnya.

Penurunan penjualan itu juga disebabkan adanya pergeseran pola konsumsi masyarakat yang cenderung memilih membelanjakan uang untuk berpelesir.

Ali berharap konsumsi masyarakat terhadap barang elektronik pada momentum Natal dan Tahun Baru dapat meningkat sehingga dapat memperkecil penurunan penjualan para pelaku industri barang elektronik.

Dia memaparkan, industri elektronik telah mengalami penurunan sejak 3 hingga 4 tahun lalu. Untuk itu, dia berharap pemerintah membuat kebijakan yang merangsang peningkatan daya beli masyarakat.

“Daya beli yang rendah masih menghantui kami pada tahun depan. Pada 2019, kami perkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa mencapai Rp14.000—Rp15.000,” ucap Ali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper