Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berjibaku Selamatkan Sawit dari Diskriminasi Uni Eropa

Semakin kencangnya embusan kampanye negatif yang menerpa minyak sawit dan produk turunannya di berbagai negara membuat Indonesia harus berjuang ekstra keras untuk mempertahankan pangsa pasar produk andalannya itu.
Hambatan ekspor CPO Indonesia./Bisnis-Radityo Eko
Hambatan ekspor CPO Indonesia./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, BADUNG — Semakin kencangnya embusan kampanye negatif yang menerpa minyak sawit dan produk turunannya di berbagai negara membuat Indonesia harus berjuang ekstra keras untuk mempertahankan pangsa pasar produk andalannya itu.

Perjuangan Indonesia menjaga kelangsungan ekspor CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (2/11/2018). Berikut laporannya.

Hal itu menjadi salah satu agenda yang menjadi fokus pemerintah dan pelaku usaha pada hari pertama perhelatan 14th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2018 di Bali pada Kamis (1/11).

Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku cukup heran dengan gempuran kampanye negatif yang meningkat akhir-akhir ini, terutama terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang berasal dari Indonesia.

“Padahal, sejak 2011, kami mendorong industri sawit agar mengedepankan prinsip keberlanjutan melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil yang bertujuan memperkenalkan pengelolaan berkelanjutan pada industri kelapa sawit,” tegasnya, Kamis (1/11).

Menurutnya, prinsip dan kriteria ISPO telah sejalan dengan 12 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

“Kelapa sawit penting karena mampu menghasilkan devisa dan berkontribusi positif terhadap pendidikan dan kesehatan, sehingga sektor ini memiliki peran penting dalam pencapaian SDGs 2015—2030.”

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menambahkan, rencana UE—yang akan memasukkan CPO sebagai komoditas minyak nabati yang berisiko tinggi menganggu pembangunan berkelanjutan global—lebih disebabkan oleh strategi dagang yang dimiliki oleh Benua Biru.

Dia menilai, upaya itu dilakukan demi melindungi produsen minyak bunga matahari dan rapeseed UE, yang tingkat produktivitasnya lebih rendah dari CPO.

“Sejumlah alasan yang diutarakan oleh UE cenderung subjektif. Perang dagang sebenarnya bukan bermula dari Presiden AS, melainkan ketika UE merestriksi akses CPO dengan alasan lingkungan hidup dan kesehatan. Sebab, banyak penelitian justru menyebutkan minyak nabati lain lebih berdampak buruk bagi lingkungan.”

Enggar menegaskan, produk minyak kedelai dan rapeseed justru lebih banyak menyumbangkan aksi alih guna lahan hutan di berbagai negara. Hal itu, menurutnya, bertentangan dengan skema yang dikembangkan oleh UE melalui program Indirect Land Use Change (ILUC).

Sekadar catatan, ILUC dijadikan acuan dalam menetapkan risiko yang ditimbulkan oleh komoditas pertanian dan per­kebunan terhadap pembangunan ber­kelanjutan. Perkebunan sawit dinilai berisiko mengganggu pembangunan ber­kelanjutan global, karena tingginya alih guna lahan di sektor itu. Padahal, pe­laku deforestasi terbesar di dunia justru komoditas non-CPO. (lihat infografis)

KELANJUTAN IE-CEPA

Akses pasar CPO juga dihambat oleh negara non-UE yang tergabung dalam European Free Trade Association (EFTA). Akibatnya, perundingan Indonesia-EFTA Comprehenseive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) hingga saat ini masih berjalan alot.

Enggar mengungkapkan, negara anggota EFTA—yakni Swiss, Norwegia, Liechtenstein dan Irlandia—meminta sejumlah syarat yang tidak masuk akal agar CPO RI bisa dimasukkan dalam komoditas yang menikmati pembebasan akses masuk.

“ Masih alot terkait dengan keinginan RI agar CPO masuk di daftar kerja sama dengan EFTA. Ini cukup menghambat kami untuk menyelesaikan proses negosiasi yang ditargetkan selesai November 2018.”

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menuturkan, kampanye negatif dapat mengganggu kinerja ekspor CPO.

Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries Mahendra Siregar menambahkan, skema ILUC sejatinya belum dapat diterima secara internasional. Karena itu, kampanye negatif tersebut berpeluang besar digugat oleh Indonesia melalui WTO.

“Saat ini kami sudah adukan melalui Committe Technical Barriers tot Trade karena sifatnya masih ancaman.”

Duta Besar UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Guerend mengaku siap membuka diri terhadap masukan dan usulan dari negara lain ketika menerapkan skema ILUC dalam program Renewable Energy Directive II.

“Namun, kami akan tetap melakukan penelitian pribadi untuk memastikan langkah yang kami ambil sudah tepat.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper