Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERSPEKTIF: Denyut Kilang Minyak Tergantung Nafas Pertamina

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk menjaga dan memperhatikan kesehatan keuangan Pertamina, karena 90% kilang minyak nasional dikuasai Pertamina.
Sejumlah tangki timbun Refinery Unit (RU) IV Pertamina terlihat dari ketinggian di Cilacap, Jawa Tengah. (7/1)./JIBI
Sejumlah tangki timbun Refinery Unit (RU) IV Pertamina terlihat dari ketinggian di Cilacap, Jawa Tengah. (7/1)./JIBI

Bisnis.com, JAKARTA – Data menunjukkan realisasi konsumsi BBM Indonesia pada 2017 sekitar 1,6 juta barel per hari. Pada periode yang sama, kapasitas kilang Indonesia tercatat baru 1 juta barel per hari. Sejumlah studi menyebutkan, kemampuan jenis kilang dengan teknologi lama seperti yang dimiliki Indonesia di dalam menghasilkan BBM sekitar 75%–90% dari kapasitas terpasangnya.

Dengan demikian, produksi BBM yang mampu dihasilkan oleh kilang antara 750.000–900.000 barel per hari.

Mengacu pada kondisi yang ada tersebut, rata-rata produksi BBM yang mampu dihasilkan kilang domestik maksimal 900.000 barel per hari. Itupun jika tingkat utilitas kilang 100% dan dioperasikan terus-menerus selama 365 hari.

Ditinjau dari perspektif ketahanan nasional, penambahan kapasitas kilang dalam negeri mendesak dilakukan. Terbatasnya kapasitas kilang menjadi penyebab defisit pada neraca BBM. Sejak lama, neraca BBM Indonesia dalam kondisi defisit.

Data menunjukkan, total impor produk BBM pada 2000 adalah sekitar 240.000 barel per hari. Pada 2017, impor BBM tercatat telah meningkat menjadi sekitar 490.000 barel per hari. Dalam perkembangannya, peningkatan impor BBM menjadi kontributor utama yang menyebabkan neraca pembayaran Indonesia berada pada kondisi defisit.

Pada kuartal II/2018 misalnya, neraca migas Indonesia mengalami defisit sebesar US$2,7 miliar. Defisit tersebut tercatat lebih besar dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya ataupun kuartal II/2017.

Berdasarkan jenis komoditasnya, peningkatan defisit neraca migas tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit neraca minyak, khususnya neraca BBM.

Berdasarkan pengamatan, Pemerintahan Presiden Jokowi tampak telah mengidentifikasi dan melihat cukup jelas permasalahan kilang minyak di dalam negeri. Pemerintah juga tercatat telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mendorong pembangunan dan pengembangan kilang dalam negeri.

Di antaranya Perpres No. 146/2005 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri, Permen ESDM No. 22/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak Skala Kecil di Dalam Negeri, Permen ESDM No. 35/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta, dan Kepmen ESDM No. 7935 K/10/MEM/2016 tentang Penugasan Kepada PT Pertamina (Persero) dalam Pembangunan dan Pengoperasian Kilang Minyak di Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur.

Akan tetapi, meskipun sejumlah regulasi telah diterbitkan, pem­ba­ngungan dan pengembangan kilang di dalam negeri masih relatif stagnan.

Hal itu kemungkinan karena industri kilang tidak cukup menarik dibandingkan dengan usaha hulu migas. Jika berdiri sebagai industri terpisah, perolehan margin industri kilang secara relatif lebih rendah dari margin dalam kegiatan usaha hulu migas. Oleh karena itu, tidak semua pelaku usaha hulu migas masuk pada industri pengolahan (kilang).

Peran Pertamina

Peran Pertamina dalam industri kilang dalam negeri cukup signifikan. Data menunjukkan dari total kapasitas kilang minyak dalam negeri sekitar 1 juta barel per hari, sekitar 90 % di antaranya merupakan kilang milik Pertamina.

Signifikansi peran Pertamina dipertegas kembali melalui pelaksanaan megaproyek perusahaan yang di dalamnya, meliputi proyek refinery development masterplan (RDMP) Kilang Dumai, Kilang Balongan, Kilang Cilacap, dan Kilang Balikpapan. Selain itu, Pertamina juga tercatat akan melaksanakan grass root refinery (GRR) untuk Kilang Bontang dan Kilang Tuban.

RDMP merupakan proyek modifikasi kilang untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja kilang. Adapun, GRR adalah proyek pembangunan kilang baru untuk menambah kapasitas kilang yang telah ada. Dengan RDMP dan GRR tersebut, Pertamina menargetkan kapasitas kilang yang dimiliki perusahaan pada 2025 mendatang meningkat menjadi 2 juta barel per hari.

Berdasarkan informasi, pada 2020 kapasitas kilang Pertamina ditargetkan bertambah sebesar 100.000 barel per hari dari RDMP Kilang Balikpapan tahap pertama. Satu tahun kemudian, atau pada 2021, ditargetkan terdapat tambahan kapasitas sebesar 200.000 barel dari RPMP Kilang Balikpapan dan Kilang Balongan. Tiga tahun kemudian, yaitu pada 2024, kapasitas kilang perusahaan ditargetkan bertambah sebesar 400.000 barel per hari dari RDMP Kilang Cilacap dan GRR Kilang Tuban. Sementara itu, RDMP Kilang Dumai dan GRR Kilang Bontang diproyeksikan akan menambah kapasitas kilang milik perusahaan sebesar 400.000 barel pada 2025 mendatang.

Berdasarkan perkembangannya, pelaksanaan RDMP dan GRR kilang-kilang Pertamina tidak berjalan sesuai dengan rencana semula. RDMP Kilang Cilacap, Balongan, dan Balikpapan mundur antara 1 sampai dengan 2 tahun dari rencana semula. Sementara itu, GRR Kilang Tuban mundur sekitar 3 tahun dari rencana semula. Pertamina menjadwal ulang pelaksanaan proyek kilang karena adanya keterbatasan anggaran.

Dari informasi yang dihimpun kebutuhan anggaran investasi untuk proyek RDMP dan GRR yang dilakukan Pertamina tersebut sekitar US$37 miliar atau setara dengan Rp555 triliun dengan menggunakan nilai tukar saat ini.

Jika melihat besaran investasi tersebut, dapat dipahami jika kemudian Pertamina memilih untuk tidak melaksanakan proyek kilang secara bersamaan. Penjadwalan ulang kemungkinan dilakukan agar tidak memberatkan kondisi keuangan perusahaan.

Dari beberapa hal yang diuraikan tersebut, cukup jelas bahwa Pertamina memiliki peran penting dalam pembangunan dan pengembangan kilang di dalam negeri. Peran penting Pertamina dipertegas dari disebutnya Pertamina sebanyak 27 kali di dalam Perpres No. 146/2015. Berdasarkan konstruksi regulasi yang ada ataupun kondisi yang ada saat ini, dapat dikatakan Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pertamina di dalam pembangunan dan pengembangan kilang.

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk menjaga dan memperhatikan kesehatan keuangan Pertamina. Hal ini mengingat jika keuangan Pertamina tidak sehat, hal itu akan menyulitkan perusahaan di dalam mencari mitra, termasuk mitra untuk membangun dan mengembangkan kapasitas kilang di dalam negeri.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (23/10/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper