Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

TANTANGAN PERTAMINA DI BLOK ROKAN, Menahan Laju Penurunan Produksi Alamiah

PT Pertamina (Persero) menghadapi tantangan cukup besar dalam mengelola Blok Rokan mulai 2021 karena umur wilayah kerja migas tersebut sudah tua sehingga akan terjadi penurunan produksi secara alamiah.
Ilustrasi pengeboran minyak/Reuters-Ernest Scheyder
Ilustrasi pengeboran minyak/Reuters-Ernest Scheyder

Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) menghadapi tantangan cukup besar dalam mengelola Blok Rokan mulai 2021 karena umur wilayah kerja migas tersebut sudah tua sehingga akan terjadi penurunan produksi secara alamiah.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menampik bahwa perbedaan biaya yang dibutuhkan PT Pertamina (persero) dengan PT Chevron Pacific Indonesia untuk memproduksi minyak di Blok Rokan langsung menentukan perusahaan mana yang lebih efisien.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar berpendapat bahwa tidak bijak jika menilai bahwa blok migas yang diambil PT Pertamina (Persero) kemudian produksi di wilayah kerja migas itu langsung turun dan memakan biaya lebih tinggi.

“Bahwa Pertamina tidak efisien, belum tentu, tetapi bahwa ada yang tidak efisien di sana [Blok Rokan] memang ada,” katanya, akhir pekan lalu.

Menurutnya, perbedaan biaya produksi di suatu blok migas bisa ditentukan oleh skala produksi migas di wilayah tersebut. Semakin besar produksi migas di wilayah itu, rerata biaya produksi akan semakin rendah dibandingkan dengan blok migas yang memiliki produksi lebih rendah.

Merujuk data Kementerian ESDM, sejak 2013—2017 biaya produksi Blok Rokan selama dikelola Chevron mencapai US$19,8 per barel setara minyak. Apalagi, kata Arcandra, produksi dari Blok Rokan ke depan sulit mencapai 200.000 barel per hari.

Belum lagi soal penurunan produksi, ketika pada 2021 Blok Rokan diambil alih Pertamina. Arcandra menekankan saat ini pun produksi Chevron di Blok Rokan terlihat menurun, tidak perlu menunggu operator berganti.

Pihaknya optimistis Pertamina pasti melakukan langkah untuk menahan penurunan produksi, seperti menggunakan metode EOR. Rencananya, Pertamina akan meningkatkan produksi dengan teknologi Enchace Oil Recovery (EOR) atau teknologi pengurasan minyak.

Misalnya untuk lapangan Duri, yang akan menggunakan proyek teknologi tingkat lanjut (Enhanced Oil Recovery/EOR) injeksi uap (steam flood) atau  Lapangan Minas yang menggunkan proyek EOR injeksi kimia.

Selain itu, lanjut Arcandra, daripada menghitung biaya per barel, efisiensi perusahaan migas dapat dihitung melalui pembiayaan kegiatan hulu migas yang dilakukan, sebagai contoh adalah kegiatan pengeboran permeter kedalaman dan biaya personal pertahun.

"Kita bisa tentukan biaya pengeborannya. Berapa dolar per meter. Misalnya begini, kita menggunakan skala ekonomi. Kalau skala besar, pasti dia lebih efisien. Tetapi belum tentu untuk biaya bila dibandingkan lebih detil, misalkan ongkos drillingnya," tuturnya seperti tertulis dalam keterangan tertulis.

Kendati demikian, Pertamina setidaknya akan memberikan tambahan produksi minyak mentah atau crude oil berkisar 150.000 per barel. “Upayanya adalah menahan declining, dengan skenario terburuk, taroklah bisa menghasilkan 150.000 barel per hari, ya impornya berkurang segitu,” tambahnya.

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) masih menghitung biaya produksi per barel dalam pengelolaan Blok Rokan 2021 mendatang.

Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Syahrial Mukhtar mengatakan masih menghitung biaya produksinya. Dia menampik jika rezim gross split berdampak menambah biaya produksi, karena setiap mekanisme ini tetap memiliki manfaat.

Menurutnya, sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk mempertahankan produksi dan menemukan cadangan baru. “Itu yang menjadi smeangat kita,” katanya, Kamis (9/8/2018).

Plt Dirut Pertamina Nicke Widyawati menceritakan kondisi Blok Rokan yang sudah berusia 94 tahun, sehingga produktivitasnya menurun. Untuk itu, pihaknya akan menambah 7.000 eksplorasi untuk meningkatkan produksi.

Dalam mengelola blok migas terbesar ini, perusahaan pelat merah ini pun memperoleh porsi bagi hasil lebih besar dari pemerintah dalam kontrak baru dengan skema gross split.

Nantinya ada perbedaan pembagian porsi bagi hasil lapangan eksisting di Blok Rokan, yakni antara Lapangan Duri dan Lapangan non-Duri.

Untuk Lapangan Duri, porsi bagi hasil dari minyak bumi bagian Pertamina ditetapkan sebesar 65% dan sisanya 35% adalah bagian pemerintah.  Sedangkan bagi hasil dari gas bumi, Pertamina mendapatkan bagian sebesar 70% dan pemerintah sebesar 30%.

Adapun untuk lapangan non-Duri, Pertamina memperoleh bagian 61% dari bagi hasil minyak bumi, sementara bagian pemerintah sebesar 39%.  Untuk bagi hasil dari gas bumi, bagian Pertamina sebesar 66% dan pemerintah sebesar 34%.

Penentuan porsi tersebut telah memperhitungkan komponen bagi hasil dasar dan bagi hasil variabel, termasuk diskresi dari Menteri ESDM.  Komponen bagi hasil progresif belum dimasukkan karena didasarkan pada harga minyak dan gas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper