Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negosiasi Fasilitas GSP: AS Beri Lampu Hijau

Jalan Indonesia untuk mempertahankan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat makin terbuka lebar, setelah Menteri Perdagangan Wilbur Ross memberikan sinyal positif.
Kinerja perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat 2013 hingga 2018./Bisnis-Husin Parapat
Kinerja perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat 2013 hingga 2018./Bisnis-Husin Parapat

Bisnis.com, JAKARTA — Jalan Indonesia untuk mempertahankan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat makin terbuka lebar, setelah Menteri Perdagangan Wilbur Ross memberikan sinyal positif.

Negosiasi GSP diangkat menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (27/7/2018). Berikut laporannya.

Hal itu diungkapkan oleh Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita, yang telah menemui Wilbur pada Selasa (24/7) waktu Washington D.C. Menurutnya, pejabat Partai Republikan itu bersedia memberi dukungan penuh agar Indonesia tetap menjadi negara penerima GSP.

Delegasi Merah Putih—yang melibatkan sejumlah besar pelaku industri berbasis ekspor produk utama itu—juga mengantongi ‘lampu hijau’ dari Wilbur, terkait dengan permintaan agar Pemerintah AS mau meninjau ulang bea masuk baja (25%) dan aluminium (10%).

Apalagi, lanjutnya, produk besi baja dan aluminium dari Indonesia bukanlah pesaing produk lokal Paman Sam. Besi baja dan aluminium buatan Tanah Air berbeda dengan yang diproduksi di AS, demikian pula pangsa pasarnya.

“Menanggapi permintaan Indonesia, Menteri Ross menyatakan bahwa pertimbangan positif akan diberikan jika produk Indonesia tersebut spesifik dan tidak diproduksi oleh industri dalam negeri AS,” tegas Enggar dalam keterangan resminya Kamis (26/7/2018).

Apalagi, delegasi Garuda juga telah memanen dukungan dari para importir produk RI di AS, yang menegaskan bahwa besi baja dan aluminium buatan Indonesia bersifat komplementer bagi industri domestik AS, dan bukan substitusi. (Bisnis, 25/7)

Dalam kunjungan tersebut, RI dan AS sepakat merajut peta jalan untuk meningkatkan nilai perdagangan kedua negara menjadi US$50 miliar pada 2020, dua kali lipat dari pencapaian tahun lalu senilai US$25,9 miliar.

Salah satu komoditas ekspor yang diprioritaskan untuk mencapai target tersebut adalah produk tekstil. Enggar telah membawa perwakilan dari Aosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menemui Apprael & Footwear Association (AAFA) di Townsend House.

“Salah satu poin kerja sama di bidang tekstil dan produk tekstil adalah pembukaan akses pasar kedua negara. AS akan mengekspor kapas ke Indonesia sebagai bahan baku TPT, sebagai gantinya, Indonesia akan meningkatkan ekspor garmen ke AS,” papar Enggar.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy menilai, langkah Mendag dalam meminta akses lebih luas terhadap produk TPT di pasar AS akan membuat produk Indonesia mampu bersaing dengan kompetitornya dari Vietnam dan China.

“Tidak apa-apa jika kompensasinya impor kapas dilonggarkan. Sebab, industri kita memang butuh. Semakin tinggi permintaan ekspor TPT, maka semakin tinggi pula kebutuhan kapas,” katanya.

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro mengklaim apabila bea masuk baja dan aluminium ke AS diturunkan, hal itu akan menjadi instentif menarik bagi produsen Indonesia.

“Produk baja dan aluminium Indonesia akan menjadi produk substitusi yang tepat bagi AS, ketika impor dari China dibatasi,” ujarnya.

Adapun, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menambahkan, delegasi Indonesia juga tengah melobi pejabat AS agar mau mengkaji ulang penerapan bea masuk antidumping (BMAD) biosolar asal Indonesia.

Seperti diketahui, BMAD yang dikenakan pada produsen biodiesel asal Indonesia cukup tinggi, seperti kepada Wilmar Tranding PTE Ltd, yang naik dari 50,71% menjadi 92,52%. Lalu PT Musim Mas dari semula 50,71% menjadi 276,65% dan lainnya dari 50,71% mnejadi 92,52%.

KABAR BAIK

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, respons positif dari importir dan pejabat pemerintahan AS merupakan kabar baik bagi Indonesia, di tengah tertekannya ekspor nasional.

Kendati demikian, dia memperingatkan bahwa kesepakatan awal antara Enggar dan Wilbur, justru berpotensi meningkatkan impor Tanah Air dari Paman Sam.

“Selama ini dua pertiga perdagangan kedua negara didominasi oleh ekspor Indonesia menuju AS. Dengan adanya kesepakatan ini, bukan tak mungkin impor Indonesia dari AS justru meningkat,” ujarnya.

Pasalnya, sebut Yose, selain produk ekspor RI yang masuk dalam daftar GSP, produk lain yang ditawarkan Indonesia ke AS adalah TPT, besi dan baja, serta minyak kelapa sawit. Padahal, produk-produk tersebut masih berpeluang dicukupi AS dari pasar negara lain selain Indonesia.

Dia melanjutkan, kondisi berbeda terjadi kepada produk impor Tanah Air dari AS seperti kapas, gandum, dan kedelai. Menurutnya, tingkat ketergantungan Indonesia terhadap komoditas-komoditas asal AS tersebut sangat tinggi.

Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengapresiasi upaya Mendag dalam mempertahankan fasilitas GSP sekaligus memperluas penetrasi produk ekspor Indonesia.

“Namun, kesepakatan ini masih awal dan perlu dikawal terus, sampai mana keseriusan AS dalam membuka diri pada produk asal Indonesia. Tetapi yang jelas, peluang mempertahankan GSP bagi kita semakin lebar,” ujarnya.

Shinta pun berharap melalui kunjungan Mendag ke AS tersebut, pemerintah dan delegasi bisnisnya dapat mengidentifikasi peluang bagi komoditas lain untuk masuk ke pasar AS, di luar produk yang sedang diperjuangkan Indonesia seperti TPT, besi dan baja, serta CPO.

Di lain pihak, Dubes RI untuk AS Budi Bowoleksono melihat upaya peningkatan perdagangan Indonesia dan AS sebagai hal yang positif. Menurutnya, KBRI Washington DC siap membantu meningkatkan perdagangan tersebut.

“Rangkaian kegiatan ini menunjukkan arti penting. Kita harus menyikapi hubungan dagang ini dengan sikap yang positif. Hubungan perdagangan Indonesia dan AS masih banyak potensi yang dapat dikembangkan,” katanya.

Untuk diketahui, dalam negosiasi peninjauan ulang eligibilitas GSP—yang berlangsung sejak 13 April 2018 dan memasuki tahapan dengar publik pada 18 Juli 2018—AS memang meminta Indonesia untuk memastikan akses produk agrikultura. Hasil akhir evaluasi GSP akan diumumkan akhir tahun ini. (Bisnis, 24/7)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper