Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Imbauan Badan Energi Internasional Soal Kebijakan Energi Indonesia

Badan Energi Internasional mengimbau agar Pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam menjalankan kebijakan subdisi energi. Apalagi, volatilitas harga bahan bakar minyak terus terjadi dengan kecenderungan naik.
Direktur Eksekutif Badan Energi Nasional (International Energy Agency/ IEA) Fatih Birol saat berkunjung ke Kementerian ESDM, Senin (16/7/2018)./Kurniawan A. Wicaksono
Direktur Eksekutif Badan Energi Nasional (International Energy Agency/ IEA) Fatih Birol saat berkunjung ke Kementerian ESDM, Senin (16/7/2018)./Kurniawan A. Wicaksono

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Energi Internasional mengimbau agar Pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam menjalankan kebijakan subdisi energi. Apalagi, volatilitas harga bahan bakar minyak terus terjadi dengan kecenderungan naik.

Direktur Eksekutif Badan Energi Nasional (International Energy Agency/ IEA) Fatih Birol mengatakan bahwa konsistensi dalam mempertahankan reformasi subsidi memang menjadi tantangan utama, terlebih ada faktor naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).

“Dalam kasus seperti ini, banyak negara bisa berada di bawah tekanan untuk mengembalikan subdisi,” ujarnya seusai mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Senin (16/7).

Terkait dengan subsidi BBM fosil, menurutnya, kebijakan ini mendorong penggunaan energi yang tidak efisien. Kebijakan ini justru menghambat investasi di teknologi rendah karbon serta peralatan hemat energi. Emisi CO2 pun meningkat.

Padahal, sambungnya, reformasi subsidi dapat memberikan ruang fiskal untuk mengatasi masalah lingkungan dan keamanan energi. Reformasi subdisi ini juga diperkirakan mampu mendorong transisi energi, yang pada gilirannya menyentuh efisiensi dan energi terbarukan.

IEA, lanjut Fatih, telah memberikan penekanan untuk keluar dari subdisi bahan bakar fosil selama lebih dari satu dekade dalam World Energy Outlook (WEO). Nilai subdisi secara global diperkirakan turun dari US$500 miliar pada 2012 menjadi US$270 miliar pada 2016. 

Penurunan tersebut, sambungnya, didorong oleh lebih rendahnya harha minyak internasional. Selain itu, kondisi itu juga dipengaruhi oleh reformasi yang sedang berjalan di banyak negara berkembang di dunia.

Harga minyak yang tinggi pada gilirannya menekan konsumen. Dalam konteks ini, kebijakan yang diambil harus dipastikan sesuai target. Artinya, bantuan ditargetkan pada kelompok rentan sembari tetap menjalankan reformasi subdisi dengan komunikasi yang efektif.

“Subsidi itu inefisien dalam sistem ekonomi dan energi, tapi dalam satu waktu berguna untuk melindungi masyarakat yang paling miskin dalam populasi. Makanya, kebijakan target subsidi perlu didesain case by case,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper