Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lembaga Pengawas TKDN Tunggu Persetujuan Presiden

Pembentukan lembaga pengawasan kepatuhan industri dalam penggunaan komponen dalam negeri (TKDN) masih menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo.
Suasana bongkar muat kontainer di Terminal Peti Kemas (TPKS), pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Jumat(16/1/2015)./Bisnis-Juli Nugroho
Suasana bongkar muat kontainer di Terminal Peti Kemas (TPKS), pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Jumat(16/1/2015)./Bisnis-Juli Nugroho

Bisnis.com, JAKARTA—Pembentukan lembaga pengawasan kepatuhan industri dalam penggunaan komponen dalam negeri (TKDN) masih menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo. 

Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Ridwan Djamaluddin menuturkan rapat koordinasi lintas kementerian telah dilakukan. Draf bentuk pengawasan sudah diserahkan ke sekretariat negara untuk diteruskan ke Presiden.

"Kita menunggu PP dan Inpres keluar," kata Ridwan, Rabu (16/5/2018). 

Berdasarkan draf peraturan presiden tentang pemantauan dan pengendalian implementasi penggunaan produk dalam negeri dalam kegiatan pembangunan, tim diketuai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu, wakil ketua tim diisi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan ketua harian diisi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Tim ini bertugas memastikan proyek-proyek strategis nasional dan proyek yang dibiayai APBN dan APBD wajib mengimplementasikan penggunaan TKDN.

Pada Februari 2018, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto optimistis beleid ini dapat rampung dan diimplementasikan pada Maret. Meski begitu, hingga pertengahan Mei 2018 ini aturan belum juga ditetapkan.

Kepatuhan terhadap kebijakan TKDN dapat menumbuhkan industri industri kecil dan menengah, industri hijau, industri baja serta industri strategis. Selain meningkatkan utilisasi industri dalam negeri, diyakini juga akan memperkuat neraca perdagangan nasional yang hingga 4 bulan pertama tahun ini mengalami defisit karena lonjakan impor mesin dan peralatan listrik hingga besi dan baja.  

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis impor bahan baku dan bahan penolong hingga April 2018 meroket 33% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017. Adapun, impor barang modal tumbuh 40,81% dalam perbandingan periode yang sama. Sementara itu, defisit neraca perdagangan pada April tahun ini mencapai US$1,63 miliar, setelah bulan sebelumnya mencatat surplus. Ini merupakan defisit bulanan terbesar sejak 2014.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anggara Pernando
Editor : Ratna Ariyanti

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper