Industri Tekfin Terkendala Rumitnya Aturan Pendaftaran

Emanuel B. Caesario
Rabu, 25 April 2018 | 21:50 WIB
Karyawati melakukan aktivitas di salah satu perusahaan financial technology (Fintech), di Jakarta, Selasa (3/4/2018)./JIBI-Endang Muchtar
Karyawati melakukan aktivitas di salah satu perusahaan financial technology (Fintech), di Jakarta, Selasa (3/4/2018)./JIBI-Endang Muchtar
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA—Rumitnya birokrasi menjadi penghambat bagi industri teknologi finansial atau tekfin/fintech untuk berkembang di Indonesia. Sejumlah kalangan berharap OJK dan Bank Indonesia lebih akomodatif dalam memproses perizinan bagi pelaku usaha fintech.

Industri keuangan berbasis digital atau dikenal dengan sebutan fintech kian menjamur di Tanah Air. Produk layanan keuangan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari pinjaman hingga sistem pembayaran kredit.

Hanya saja, perusahaan-perusahaan fintech tersebut belum semua mengantongi izin dari regulator, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

M. Ajisatria Sulaeman, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, mengatakan saat ini sudah ada 30 anggota asosiasi yang sedang dalam proses mendaftarkan perusahaannya ke Bank Indonesia saja.

"Peraturan di Bank Indonesia sendiri cukup banyak, tidak hanya tekfin dan regulatory sandbox, tetapi payment gateway, uang elektronik, dompet elektronik, dan transfer dana. Ada lebih dari 30 anggota kami yang sedang mendaftar untuk mendapatkan izin tersebut," kata Ajisatria dalam siaran pers, Rabu (25/4/2018).

Pendaftaran fintech sendiri terbagi dua. Untuk fintech berbasi pinjam meminjam atau Peer to Peer Lending (P2PL) berada di bawah pengurusan OJK. Sedangkan yang berada di bawah pengawasan BI adalah yang terkait sistem pembayaran.

Ajisatria mengungkapkan, pengurusan perizinan bukan tanpa batu sandungan. Banyak kendala yang dihadapi perusahaan fintech saat hendak mengurus pendaftaran untuk memperoleh izin operasi.

"Kendala utama pengurusan izin di Bank Indonesia adalah mekanisme mereka yang pre-audit, artinya seluruh dokumen dan sistem harus sudah siap sebelum memohon izin," ujarnya.

Dia mengatakan, pendaftaran di OJK lebih mudah dibanding Bank Indonesia.

"Ini berbeda dengan OJK lending dimana diperbolehkan untuk mendaftar dan beroperasi dengan dokumen-dokumen awal, lalu diberikan waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen SOP, memperbaiki sistem, dan merampungkan audit. Jadi kalau di OJK, mekanismenya post audit," terangnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakaan saat ini baru segelintir perusahaan fintech yang telah terdaftar.

"Jadi ada 44 yang terdfatar di OJK kalau gak salah tapi kan dari segi jumlah fintech lebih dari 180 perusahaann. Artinya, belum ada setengahnya yang terdfatar ke dalam OJK," kata Bhima.

Bhima mengungkapkan, para pelaku industri fintech kebanyakan mengeluhkan soal rumitnya birokrasi.

"Ada beberapa akeluahan dari teman-teman di fintech, salah satunya sih ada perizinian yang cukup rumit dalm hal pendaftaran, jadi merekaa mengurus perizinannya tuh makan waktu dan makan biaya," ujarnya.

Bhima mengungkapkan, ada sekitar 14 kementerian dan lembaga (K/L) yang memegang andil dalam proses regulasi fintech. Perusahaan harus mengurus administrasi di 14 K/L tersebut.

"Bayangkan ada 14 K/L, jadi kayak pendaftaran untuk sistem pembayarannya ke BI, untuk pembayaran pinjam meminjam ke OJK. Nanti untuk pendaftaran soal aplikasinya di Kemenkominfo, izin lain lainnya ada di Kementerian Perdagangan dan segala macam.  Jadi 14 K/L itu aturan tentang fintechnya tumpang tindih."

Bhima menyayangkan regulator yang terkesan lamban mengelola fintech di tanah air. Padahal, kemajuan teknologi semakin hari semakin berjalan cepat dan tidak terbendung.

"Sedangkaan perubahan teknologinya begitu cepat, jadi kalau saya daftar hari ini, setahun baru selesai kan ? Padahall teknologinya sudah berubah, [begitu dapat izin] Saya sudah harus daftarin teknologi yang terbaru lagi. Nah itu yang membuat birokrasinya menjadi penghambat fintech untuk mendaftar."

Selain itu, proses pendaftaran juga memakan dana yang tidak sedikit. Sebab pendaftaran memerlukan beberapa proses yang melibatkan pihak ketiga untuk melakukan pengecekan sistem kemanan. 

"Mengecek soal kemanan sistem itu biasanya pakai pihak ketiga, jadi untuk start up yang modalnya masih kecil mendaftarkam fintech itu butuh biaya yang cukup mahal karena ada uji sistem biar gak bisa dihack sistemnya, keamanan data nasabah dan segala macam, nah itu yang jadi hambatan, birokrasi dan mahalnya perizinan."

Selain itu, perusahaan juga harus memakai jasa konsultan hukum dan bidang lainnya selama proses pendaftaran hingga memperoleh izin.

"Tiap fintechnya beda, tergantung makin rumitnya teknologinya  di a makin mahal (biayanya). Ya harus nyewa konsultan bidang hukum, konsultan bidang IT,  ya itu kan cukup menguras kantong juga  buat start up."

Bhima mengatakan, seharusnya BI dan OJK tidak mengedepankan ego sektoral dalam mengelola perizinan fintech.

Dia menyarankan, seharusnya BI bersama OJK berjalan bersama dan membuat perizinan fintech menjadi hanya satu pintu. Hal itu bisa mengharmonisasikan seluruh aturan mengenai fintech yang selama ini masih tumpang tindih.

"Karena masalahnya itu belum ada satu pintu perizinan, belum ada single window policy. Jadi  BI juga punya kewenangan, OJK juga punya kewenangan, masih ada ego sektoral disitu. Jadi proses perizinannya makan waktu lama."

Menurut Bhima, akan lebih baik jika BI bersama OJK membentuk satgas khusus untuk mengurus pendaftaran fintech.

"Harusnya memang dibentuk single window policy atau perizinan terpadu satu pintu, jadi antara BI dan OJK membentuk satgas khusus fintech. Jadi pendaftarannya satu pintu. Itu di Thailand seperti itu, kemudian di Australia seperti itu juga. Makanya perkembangan fintech disana cukup pesat karena perizinannnya hanya dalam satu pintu tadi."

Selain itu, Bhima memandang BI dan OJK ada kecenderungan untuk menghentikan operasional (suspend)  fintech. Padahal, akan lebih baik jika fintech dibiarkan berjalan selama proses.

"Jadi banyak banget fintech yang udah mau daftar nih, tapi kan harusnya opersionalnya bisa jalan dulu lah, tiba - tiba disuspend, dihentikan sementara operasinya kayak waktu itu ada Tokopedia, ada grab pay. Pendekatannya OJK dna BI ke arah melarang dulu dibandingkan merangkul. Makanya gak banyak fintech yang terdaftar dalam sistem."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper