Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kalau Ingin Ekspor Tekstil Moncer, Pemerintah Perlu Selesaikan Persoalan Energi dan Logistik

Peningkatan ekspor produk tekstil Indonesia ke pasar Amerika Serikat terbuka lebar jika terdapat keberpihakan kebijakan pemerintah berupa pengendalian biaya energi dan pelabuhan.
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy (dari kiri) berbincang dengan Project Director Peraga Expo Paul Kingsen, dan Ketua Umum Komunitas Printing Indonesia Usman Batubara seusai konferensi pers rencana pameran Indo Intertex - Inatex 2018, di Jakarta, Selasa (27/3/2018).JIBI-Dedi Gunawan
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy (dari kiri) berbincang dengan Project Director Peraga Expo Paul Kingsen, dan Ketua Umum Komunitas Printing Indonesia Usman Batubara seusai konferensi pers rencana pameran Indo Intertex - Inatex 2018, di Jakarta, Selasa (27/3/2018).JIBI-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA – Peningkatan ekspor produk tekstil Indonesia ke pasar Amerika Serikat terbuka lebar jika terdapat keberpihakan kebijakan pemerintah berupa pengendalian biaya energi dan pelabuhan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy mengatakan pesaing utama Indonesia dalam merebut pasar AS yang tengah berseteru dengan China adalah negara-negara di Asia seperti Vietnam, India hingga Bangladesh. Indonesia harus bersaing di pasar bawah karena produk tekstil dari China dikenal dengan harganya yang murah.

“Bagaimana bersaing [harga] dengan mereka [negara kawasan] maka harus dilihat struktur biaya. Apakah kalau kami kirim produk mahal orang Amerika mau membeli? Tentu tidak,” kata Ernovian di sela-sela paparan rencana penyelenggaraan pameran Indo Intertex 2018 di Jakarta, Selasa (27/3).

Upah murah yang beberapa waktu lalu sempat menjadi keunggulan di Indonesia saat ini sudah berakhir. Rata-rata negara kawasan telah menerapkan upah yang serupa. Alhasil, saat ini isunya bergeser ke produktivitas. Dengan upah yang relatif sama, negara kawasan dapat memproduksi produk garmen dan tekstil dalam jumlah yang lebih tinggi.

Sebagai gambaran dalam catatan API, jam kerja di Malaysia mencapai 2.344 jam per tahun, India (2.256 jam per tahun), Thailand (2.234 jam per tahun), Vietnam (2.230 jam per tahun), Bangladesh (2.208 jam per tahun), Kamboja (2.152), Pakistan (2.272 jam per tahun), Sri Langka (2.054 jam per tahun), China (1.952 jam per tahun) sedangkan Indonesia (1.816 jam per tahun).

“Dari dulu masalahnya masih sama. Belum lagi listrik untuk industri mahal, gas mahal, belum lagi jasa kepelabuhan. Mau peluang sebesar apa pun kalau mahal orang tidak akan membeli,” katanya.

Untuk itu Ernovian berharap masalah struktur biaya yang sudah berlarut-larut ini segera dapat terselesaikan. Tekstil, sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, memerlukan kebijakan khusus dari pemerintah agar industri ini dapat tumbuh lebih tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anggara Pernando
Editor : Ratna Ariyanti

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper