Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Serikat Petani Kelapa Sawit Mendaki Asa pada Mahkamah Agung

Suara mesin chainsaw nyaring terdengar hingga ke sebagian ruas jalan Merdeka Medan Utara, Jakarta. Seorang petani menggenggam mesin tersebut, menebang pohon kelapa sawit yang berdiri di depan gedung Mahkamah Agung.
Ilustrasi: Proses pemuatan buah kelapa sawit di perkebunan di Mamuju, Sulawesi Barat/Antara-Sahrul Manda Tikupadang
Ilustrasi: Proses pemuatan buah kelapa sawit di perkebunan di Mamuju, Sulawesi Barat/Antara-Sahrul Manda Tikupadang

Bisnis.com, JAKARTA – Suara mesin chainsaw nyaring terdengar hingga ke sebagian ruas jalan Merdeka Medan Utara, Jakarta. Seorang petani menggenggam mesin tersebut, menebang pohon kelapa sawit yang berdiri di depan gedung Mahkamah Agung.

Pohon sawit yang ditebang, tentu bukan tanaman sawit sungguhan yang ditanam di sekitar gedung lembaga tinggi dalam sistem ketatanegaran pemegang kekuasaan kehakiman itu.

Pohon yang ditebang adalah replika tanaman. Sebelumnya, mereka menaburkan bijih-bijih kelapa sawit di jalan trotoar. Adegan-adegan itu sebagai bentuk aksi protes para petani yang datang dari berbagai provinsi di Indonesia terhadap PP Nomor 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan. 

Para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendatangi Mahkamah Agung menuntut uji materiel atau permohonan keberatan pada pasal 9 ayat (2) PP No. 24/2015 karena bertentangan dengan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan.

Vincentius Hartono, salah satu petani dari Jambi yang Bisnis temui, berharap ada asa mendaftarkan gugatan ke MA supaya majelis hakim mau mengabulkan gugatan yang didaftarkan oleh para petani.

Vincentius rela meninggalkan keluarga, yang tinggal ribuan kilometer di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, ke ibu kota negara ini, untuk menyampaikan protesnya.

“Saya dan teman-teman sudah menghitung potensi kerugian yang bakal kami alami ke depan karena bantuan dari dana tersebut per satu orang petani hanya 1%, itu untuk replanting atau peremajaan kelapa sawit saja,” ujarnya.

Bantuan yang dimaksud Vincentius Hartono adalah untuk pohon sawit yang telah berumur 25 tahun harus diremajakan kembali agar bisa menghasilkan produktivitas panen yang lebih banyak lagi.

Saat ini, usia tanam kelapa sawit di lahan miliknya sudah berumur lebih dari 25 tahun, tepatnya sekarang sudah 30 tahun. Sementara, uang yang diterimanya dari dana perkebunan hanya Rp1,5 juta saja dari semestinya memperoleh Rp35 juta per Ha. Dengan lahan 2 ha, artinya dia perlu dana tunai Rp70 juta.

Alhasil untuk mendapatkan dana sebesar itu dia mesti meminjam dari pihak bank tentu beserta bunga pinjaman. “Kalau saya hitung mencapai Rp200 juta dengan masa peminjaman selama 14 tahun.”

Kegelisahan Vincentius persis dialami Wagio Ripto Sumarto, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit dari Provinsi Kalimantan Barat. Testimoninya saat menyampaikan masa depan petani kelapa sawit di Kalbar membuat saya mengernyitkan dahi.

Menurut Wagio, di satu sisi, kelapa sawit adalah penyumbang ekspor terbesar Indonesia setelah batu bara serta minyak dan gas, tetapi nasib petaninya di ujung tanduk. Kenyataannya, industri ini belum berpihak pada petani khususnya mandiri dan plasma yang tertatih-tatih dalam upaya memperoleh pinjaman ke bank.

“Baru mau tanam sawit, hari ini misalnya kontrak [dengan bank], bulan depan sudah harus bayar cicilan. Padahal, minimal menjadi pohon [belum berbuah] usia 3-4 tahun,” kata dia.

Sementara, puncak usia produktif panen kelapa sawit pada umur 10-15 tahun. Setelah itu, petani harus meremajakan ulang pohonnya.

Selain peremajaan pohon, Wagio berharap pengumpulan dana untuk petani untuk infrastruktur perbaikan jalan dari kebun ke pabrik hingga pendampingan kepada para petani.

Kuasa hukum SPKS Hifdzil Alim mengatakan pada pasal 9 ayat (2) PP No. 24/2015 dana yang dihimpun untuk kepentingan pengembangan perkebunan, pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel) dan hilirisasi industri perkebunan.

“Penambahan poin terkait penggunaan dana dalam pasal 9 ayat (2) di lapangan menimbulkan kerugian. Berdasarkan fakta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan judul Sumber Daya Alam: Di Bawah Cengkeraman Mafia 2016, hanya terkonsentrasi dalam pemenuhan untuk biofuel,” ujarnya.

Ahli hukum menilai penyaluran dana tidak sesuai dengan amanah UU No. 39/2014 karena penyaluran tidak optimal alias alokasi angkanya kecil, seperti pengembangan SDM perkebunan sebesar 1%, penelitian dan pengembangan perkebunan 1%, promosi perkebunan 1%, peremajaan perkebunan 1% dan sarana prasarana kebun 1%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper