Bisnis.com, JAKARTA — Hingga tahun ini, penyerapan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (domnestic market obligation/DMO) masih belum menunjukkan tanda-tanda lonjakan yang signifikan. Harapan atas realisasi program 35.000 megawatt (MW) masih harus ditunggu.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, DMO batu bara sebenarnya sudah mulai menggeliat pada tahun lalu. Setelah pada 2013—2015 masih berkutat di kisaran 72 juta—76 juta ton, pada 2016 terjadi kenaikan yang cukup berarti menjadi 90,5 juta ton.
Memang, bila dibandingkan dengan porsi ekspor yang mencapai 365,5 juta ton, DMO tersebut bisa dibilang belum seberapa. Namun, kenaikan tersebut menjadi sinyal positif menggeliatnya industri di dalam negeri.
Untuk tahun ini, Kementerian ESDM menetapkan DMO sebanyak 107,92 juta ton. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kebutuhan untuk PLTU menjadi yang utama dengan 88,27 juta ton.
Namun, PT PLN (Persero) memperkirakan penyerapan batu bara untuk PLTU pada tahun ini hanya 76 juta ton saja. Baru pada tahun depan, penyerapannya bisa mencapai 90 juta ton.
"Tahun depan kebutuhannya kira-kira 90 juta ton. Harapan kita demand listrik sesuai asumsi di atas 5%," ujarnya Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso.
Iwan menjelaskan peningkatan kebutuhan batu bara untuk tahun depan bukan berasal dari pembangkit baru. Namun, dari peningkatan capacity factor pembangkit-pembangkit yang belum optimal.
"Misalnya di Sumatera yang capacity factor-nya masih rendah akan naik karena konsumsi listrik naik juga. Untuk pembangkit baru di Jawa-Bali tahun depan gak ada. Sumatera juga belum masuk tahun depan," jelasnya.
Peningkatan DMO setiap tahun pasti ada. Namun, sebelum program 35.000 MW terealisasi, kisarannya kemungkinan hanya sampai kisaran 100 juta ton saja.
Lain halnya apabila seluruh PLTU dalam program 35.000 MW beroperasi. Diperkirakan ada tambahan permintaan hingga 150 juta ton per tahun.
Dengan tingginya DMO tersebut, porsi ekspor tentu akan berkurang dan tak lagi mendominasi seperti sekarang ini.