Bisnis.com, JAKARTA--Presiden Joko Widodo membeberkan alasan sering membangun sarana infrastruktur di Indonesia selama masa pemerintahannya.
Kepala Negara menyebut biaya transportasi logistik di Indonesia lebih mahal 2,5 kali lipat dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Akibatnya, barang yang dijual di Indonesia harganya lebih mahal dibandingkan negara lain.
“Kita ingin daya saing kita lebih baik dari negara lain. Global competitiveness kita harus diperbaiki, tahun ini cukup lumayan meloncat dari [peringkat] 41 ke 36 dari 137 negara,” ujar Presiden Jokowi saat Dies Natalis ke-60 Universitas Diponegoro seperti dikutip dalam siaran pers, Selasa (17/10/2017).
Dia menyebutkan pada 1977 Indonesia telah membangun jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) sepanjang 60 kilometer dan selesai dibangun pada 1981. Saat itu, jalan tol tersebut menjadi perhatian banyak negara, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, dan China.
Namun hingga 2014, jalan tol yang dibangun di Tanah Air hanya mencapai 780 kilometer. Adapun, China dalam setahun bisa membangun lebih dari 4.000 kilometer dan saat knk sudah memiliki 220.000 kilometer.
Selain Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang fokus pada infrastruktur, alasan lainnya adalah untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur.
Baca Juga
Bahkan, anggaran untuk infrastruktur pun sudah disiapkan dan ditingkatkan pemerintah dari Rp177 triliun pada 2014 menjadi Rp401 triliun pada 2017.
Dari sejumlah infrastruktur yang dibangun pemerintah, salah satunya adalah pelabuhan. Mulai dari Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Kuala Tanjung di Sumatra Utara, dan Makassar New Port di Sulawesi Selatan.
Rencananya tahun depan pemerintah juga akan mulai pembangunan pelabuhan di Sorong, Papua.
Demikian pula dengan pembangunan bandar udara, Indonesia sebagai negara besar yang memiliki 17 ribu pulau yang tidak semua pulaunya dapat disinggahi kapal.
Pembangunan pembangkit listrik juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Meski banyak yang menganggap target pemerintah untuk membangun 35.000 MW terlalu ambisius, tetapi pemerintah tetap berupaya mewujudkannya.
“Tidak apa-apa, target harus besar, ambisi harus seperti itu, kalau tidak daya saing kita akan tertinggal. Sekali lagi ini menyangkut daya saing kita yang tertinggal dengan negara lain,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel