Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebutuhan Energi Terbarukan Naik 500%, Perusahaan Minyak Kian Tertekan

Kebutuhan energi baru dan terbarukan diperkirakan naik hingga 500% dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.
Energi terbarukan/bumn.go.id
Energi terbarukan/bumn.go.id

Bisnis.com, JAKARTA--Kebutuhan energi baru dan terbarukan diperkirakan naik hingga 500% dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Berdasarkan studi yang dilakukan Wood Mackenzie, perubahan pola konsumsi energi akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang.

Dalam studi tersebut, kebutuhan gas alam dan bahan bakar rendah karbojn akan naik 60% pada 2035. Sementara, kebutuhan batubara dan minyak akan menyentuh puncaknya sebelum 2035. Pertumbuhan tertinggi justru terjadi pada kebutuhan dari energi baru dan terbarukan yang akan naik lima kali lipat dalam 20 tahun mendatang. Dengan menurunnya permintaan minyak, proyek-proyek di sektor energi baru dan terbarukan naik di hampir seluruh negara.

Direktur Riset Tren Global Wood Mackenzie, Paul McConnell mengatakan para pelaku usaha di sektor minyak akan menghadapi kenaikan biaya akibat transisi penggunaan energi ini. Menurutnya, transisi penggunaan energi ini sebagai wujud penerapan kebijakan ramah lingkungan yang secara otomatis menekan perusahaan minyak yang besar untuk berpindah ke energi yang ramah karbon.

"Perusahaan minyak akan menghhadapi beban regulasi dan sepertinya menghadapi penaikan biaya," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Minggu (27/11/2016). Paul menilai sistem keuangan hijau atau green financing pun berarti adanya peluang penambahan biaya dan investasi karena pelaku usaha harus mengubah ke bahan bakar lain dan teknologi rendah emisi.

Saat ini, pelaku usaha di hulu belum terdampak karena kebijakan rendah karbon baru diterapkan pada sektor ketenagalistrikan dan industri. Bila beberapa negara sepakat menerapkan biaya dari setiap karbon yang dihasilkan, lebih dari 50% perusahaan minyak akan terdampak.

Dia mengasumsikan biaya yang dikenakan berkisar US$6 hingga US$80 per ton berdasarkan faktor geografi dan waktu penerapannya. Berdasarkan hasil studi, perusahaan besar kini di bawah tekanan untuk menurunkan risiko bisnis yang ada saat ini dan merambah bisnis lain yang terarah pada energi rendah emisi.

Adapun, langkah diversifikasi akan menjadi tantangan tersendiri karena harus bertaruh pada proyek yang memberi keuntungan rendah dan mengubah model bisnis yang masih berjalan. Menurut Paul, waktu adalah kunci untuk melakukan diversifikasi usaha. Diversifikasi bisa menjadi langkah penyeimbang namun, bisa pula hanya membuang uang karena terlalu cepat dan kehilangan peluang bila terlalu lamban.

"Waktu transisi ke energi rendah karbon akan menjadi kritis," katanya.

Penambahan porsi dalam produksi gas menjadi salah satu cara menekan biaya. Pasalnya, ujar Paul, risiko karbon akan semakin menekan harga minyak dalam jangka waktu lama dengan penurunan permintaan dan penaikan biaya. dengan demikian, perusahaan besar akan semakin lamban mendapat pengembalian modal.

Menurutnya, untuk memfasilitasi langkah perpindahan ke kebijakan energi rendah karbon, diperlukan kemampuan baru melalui pembentukan perusahaan patungan (joint ventures) atau akuisisi. "Harga minyak akan tertekan dalam waktu yang lama dengan perlambatan permintaan dan penaikan biaya," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper