Bisnis.com, JAKARTA -Lupakan saja harga daging di bawah Rp80.000 per kg. Perintah atau barangkali lebih tepatnya harapan Presiden Joko Widodo itu sulit dipenuhi.
Pemerintah dianggap terlambat dalam mengantisipasi kenaikan harga dan lonjakan permintaan daging menjelang Ramadan dan Lebaran. Kenapa terlambat? Bukankah itu lonjakan permintaan itu merupakan ritual tahunan?
Cara instan yang selalu dijadikan senjatan pamungkas pemerintah selama ini, yakni membuka keran impor sudah dinilai tidak sakti lagi.
Namun, pemerintah boleh sedikit lega. Bolehlah tidak apa-apa yang penting harga terkendali kendati tidak bisa di bawah Rp80.000 per kg. Tidak harus turun, kini yang penting tidak lagi meroket.
Pengamat Pertanian Khudori mengatakan keterlambatan pemerintah mengantisipasi kenaikan harga pangan saat Ramadan dan Lebaran tidak terbantahkan lagi.
Namun, pemerintah sedikit lega karena sejumlah langkah Operasi Pasar (OP) yang dilakukan Perum Bulog, pemerintah yang dibantu swasta setidaknya dapat menahan laju kenaikan harga pangan. Untuk itu, OP dirasa masih perlu, apalagi saat mendekati hari Lebaran untuk memberikan pilihan alternatif kepada masyarakat.
Upaya Perum Bulog dan sejumlah BUMN pangan lainnya melakukan OP di sejumlah titik setidaknya dapat menahan laju kenaikan harga pangan di sejumlah daerah di Indonesia.
"OP memang dapat menahan laju kenaikan harga kebutuhan pokok. Paling tidak dapat meredam, meskipun harga tetap bertahan tinggi," ujar Khudori.
Dia mencontohkan, sebelum Ramadan harga daging sapi sudah tinggi yakni di kisaran Rp 110.000 per kg.
Saat Ramadan harga daging hanya bergerak tipis di kisaran Rp 115.000 per kg - Rp 120.000 per kg. Bila tidak ada OP dan keterlibatan semua pihak, termasuk Bulog, maka potensi kenaikan harga daging sapi bisa jauh lebih tinggi lagi.
Menurutnya, seharusnya pemerintah sudah mengeluarkan izin impor jauh-jauh hari sebelumnya sehingga dapat menekan harga lebih rendah. Dengan demikian, pasokan pangan sudah masuk ke pasar. Ketika permintaan meningkat, pasokan dapat mengimbangi sehingga tidak ada kelangkaan pasokan yang menyebabkan harga meningkat.
Namun, karena izin impor baru dikeluarkan saat sudah mendekati Ramadan, maka otomatis tidak bisa mendorong pasokan pangan langsung bertambah karena butuh waktu antara memesan dari negara lain dan mendatangkan ke Indonesia. Akibatnya, terjadilah kekhawatiran di pasar pasokan kurang sehingga harga pada melambung.
Dia mencontohkan, ketika Bulog baru mendapatkan kuota izin impor daging sapi menjelang puasa sebanyak 10.000 ton. Namun, realisasi impor daging baru 900 ton saat menjelang Lebaran. Akibatnya, pemerintah gagal membanjiri pasar dengan pasokan daging yang berlimpah.
Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengungkapkan, tidak dapat merealisasikan impor daging sapi sebanyak 10.000 ton selama Ramadan. Hal itu karena pada waktu bersamaan, pemerintah juga membuka keran impor untuk swasta. Akibatnya di pasar daging dunia terjadi rebutan daging.
Namun, Bulog tetap menjalankan komitmen menjual daging di pasaran di kisaran Rp 80.000 per kg. Kehadiran Bulog menjadi pasar alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan harga pangan yang lebih terjangkau dan murah.
Selain menggelar OP daging sapi di sejumlah daerah, Perum Bulog telah membuka gerai Rumah Pangan di sejumlah lokasi dengan menjual daging sapi lebih murah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel