Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wewenang Apoteker Diperluas, Daya Tawar Pasien Meningkat?

Siapa sangka, perubahan satu kata dapat menimbulkan perdebatan panjang. Satu wewenang apoteker yang diubah, ternyata berdampak pada pasien sebagai konsumen, produsen obat, hingga sistem kesehatan nasional.
Obat-obatan/boldsky.com
Obat-obatan/boldsky.com

Bisnis.com, JAKARTA - Siapa sangka, perubahan satu kata dapat menimbulkan perdebatan panjang. Satu wewenang apoteker yang diubah, ternyata berdampak pada pasien sebagai konsumen, produsen obat, hingga sistem kesehatan nasional.

Cerita ini bermula pekan lalu, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta perubahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2009 Pasal 24 (b). Kira-kira bunyi pasal tersebut: apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

“Kata dapat nanti akan diubah menjadi wajib,” begitu kata Syarkawi Rauf, Ketua KPPU.

Aturan tersebut kini sedang digodok pemerintah. Menurutnya, jika perubahan tersebut digolkan, akan terjadi perubahan dalam pola hubungan pasien dengan industri obat. Pasien akan punya posisi tawar dengan adanya kesempatan untuk memilih, tentunya dengan penjelasan yang mumpuni dari apoteker.

Dia menilai praktik yang diterapkan selama ini berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pasalnya, apoteker cenderung hanya meracik obat sesuai resep dokter. Kalau sudah begini, pasien hanya bisa manut karena tidak diberikan opsi varian obat lain yang berkhasiat sama namun dengan harga yang berbeda.

Seorang ibu rumah tangga yang berdomisili di bilangan Tanah Abang, Neneng, menyambut antusias rancangan tersebut. Menurutnya, sudah banyak pasien yang paham perbedaan antara obat paten dan generik. Hanya saja informasi yang belum terbuka selama ini.

“Kalau ditawarkan, ya bagus sekali. Toh, kita kan minum obat karena khasiatnya, bukan harga.”

Bicara soal harga, memang harga obat paten bisa mencapai 10 kali lipat dari obat generik. Sebagai contoh, Amoxicillin yang merupakan obat generik dijual seharga Rp4.500 hingga Rp5.000 per papan. Sedangkan yang paten dijual mulai dari Rp23.000 hingga Rp40.000 per papan.

Kadek Pramudito, apoteker di salah satu apotek Kimia Farma, menjelaskan bahwa praktik yang terjadi selama ini, apoteker akan memberikan opsi jika obat dengan merek yang diminta tidak tersedia. Itu juga dengan persetujuan pasien.

“Justru banyak pasien yang tidak mau [resepnya] diganti. Harus sesuai dengan resep dokter. Kalau memang aturan ini diwajibkan, tentunya ada pertimbangan khusus. Saya sendiri tidak masalah untuk memberikan informasi atas obat yang tersedia, karena itu kan membantu pasien juga,” jabarnya.

BEDA PERSPEKTIF

Dari sisi konsumen, hampir seluruh pihak merasa aturan ini baik. Terlebih, bagi kalangan yang secara ekonomi kurang mampu.

Beberapa pelaku industri farmasi lokal-nasional juga menanggapi positif rencana tersebut. Selain bermanfaat bagi konsumen, aturan ini dinilai dapat meredam isu persaingan usaha yang tidak sehat.

Namun jika ditilik lebih dalam, ada sisi yang terlupakan. Kebijakan tersebut agaknya tidak memerhatikan pelaku industri farmasi lokal-multinasional yang umumnya memproduksi obat paten serta obat originator atau obat paten yang sudah tidak diproteksi.

Kelompok tersebut memegang porsi 25%-30% dari pasar farmasi nasional, dan sisanya didominasi obat generik dan generik bermerek yang diproduksi oleh pelaku industri farmasi lokal-nasional.

Produsen kalangan ini memang sudah kesulitan untuk masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akibat plafon harga yang rendah. Adanya kebijakan untuk memberikan alternatif obat malah dapat mengarahkan konsumen untuk membeli obat generik. Terlebih lagi dengan kecenderungan masyarakat yang akan memilih produk dengan harga lebih murah.

Jika memang perubahan itu untuk mengurangi beban JKN sebagaimana yang diutarakan oleh KPPU, agaknya kurang cocok. Karena obat yang digunakan dalam praktik JKN memang sudah ditentukan dari awal. Terlebih dengan plafon harga yang ditentukan, produk yang masuk rata-rata memang produk generik.

Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak pernah berkata bahwa jangan jadikan dimensi harga sebagai satu-satunya pertimbangan dalam aspek perlindungan dan kesehatan masyarakat.

Dia juga mengatakan bahwa kebijakan tersebut dapat mencederai semangat industri farmasi dalam memproduksi jenis obat yang bermacam-macam untuk mengatasi kebutuhan pasien yang juga bervariasi.

Pemerintah mestinya juga mempertimbangkan, bagaimana jika nantinya investor asing enggan memproduksi obat baru di Indonesia karena kebijakan yang hanya mendukung obat yang murah. Padahal, obat baru tentunya membutuhkan biaya riset dan pengembangan, sosialisasi dan promosi serta distribusi mandiri yang tentunya mengerek ongkos produksi.

Selain itu, mengubah obat juga tidak bisa sembarangan karena meskipun memiliki kandungan yang sama, cara kerja obat juga berbeda dan harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dokter dalam memberikan resep.

“Kalau sekarang apoteker wajib memberikan alternatif, yang tanggung jawab siapa? Karena keputusannya ada di pasien. Dan mereka diminta persetujuannya atas sesuatu yang tidak dikuasai,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin, yang menyampaikan bahwa perubahan obat seyogianya dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter.

“Sekalipun pasien berhak atas dirinya, namun pasien tidak memeriksa dan menegakkan diagnosa atas dirinya sendiri. Apoteker juga tidak memeriksa pasien. Hanya yang memeriksa berhak menulis dan mengganti resep. Itu salah satu otoritas dokter,” katanya.

Menurutnya, pewajiban apoteker untuk memberikan alternatif justru bisa memberi dampak buruk bagi sistem kesehatan Indonesia. Pasalnya, dalam tiap resep yang dituliskan dokter, ada tanggung jawab etik dan hukum. Kewenangan yang berlebihan justru akan melangkahi otoritas dari dua profesi yang mestinya bekerja sama tersebut.

“Dokter dan apoteker itu wajib berkomunikasi sebagai profesi yang saling membutuhkan untuk kesembuhan pasien. Kalau penghargaan atas kewenangan itu hilang, saya khawatir dokter nulis resep untuk diserahkan sendiri seperti dulu sebelum ada profesi apoteker,” katanya.

Pemerintah tentunya bisa mencermati rencana perubahan tersebut dari segala sisi. Memang, konsumen pasti diuntungkan dengan adanya obat yang murah. Namun ada efek lain yang perlu dipertimbangkan dengan matang, sebelum rancangan tersebut diketuk palu. ()

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Shahnaz Yusuf
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (27/1/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper