Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mahalnya Harga yang Dibayar Akibat Keterlambatan Impor Beras

Perencanaan impor beras yang tidak dilakukan dengan baik harus dibayar mahal oleh pemerintah. Salah satunya adalah konversi beras premium Bulog menjadi beras public service obligation (PSO) yang diperkirakan membutuhkan tambahan biaya sebesar Rp1,4 triliun.n
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri) dan Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti (kanan) meninjau stok beras di Gudang Nomor 28 di Bulog Divre Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (2/10)./Antara-Widodo S Jusuf
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri) dan Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti (kanan) meninjau stok beras di Gudang Nomor 28 di Bulog Divre Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (2/10)./Antara-Widodo S Jusuf

Bisnis.com, JAKARTA--Perencanaan impor beras yang tidak dilakukan dengan baik harus dibayar mahal oleh pemerintah. Salah satunya adalah konversi beras premium Bulog menjadi beras public service obligation (PSO) yang diperkirakan membutuhkan tambahan biaya sebesar Rp1,4 triliun.

Peringatan terhadap risiko kekeringan sebenarnya sudah didengungkan jauh-jauh hari. El-nino, diprediksi akan menyebabkan penurunan produksi, tidak hanya di  Indonesia, tetapi negara-negara produsen beras utama kawasan ASEAN seperti Vietnam dan Thailand.

“Itu yang sejak dua tahun lalu saya ngomong soal El-Nino. Jadi memang kalau kondisinya sudah seperti ini, ya artinya untuk keamanan dan kestabilan harga [konversi] merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Itu costly,” kata Pengamat Ekonomi Pertanian Insitut Pertanian Bogor Hermanto Siregar kepada Bisnis belum lama ini.

Pilihan konversi tersebut saat ini menjadi pilihan yang paling mudah bagi pemerintah, mengingat impor beras sudah tidak lagi mudah. Rencana untuk melakukan importasi sebesar 1,5 juta ton diyakini sulit tercapai hingga akhir Desember nanti.

Menteri Perdagangan Thomas T. Lembong menyebutkan, keterlambatan pemerintah untuk melakukan impor beras berpengaruh terhadap volume yang didapatkan serta tingginya harga beras pada saat kesepakatan didapatkan.

Hingga saat ini, pemerintah baru mendapatkan sebanyak satu juta ton saja yang didapatkan dari Vietnam dan Thailand, atau dua per tiga dari jumlah yang diharapkan. Kendati demikian, pencarian peluang impor masih akan terus dilakukan ke sejumlah negara, seperti Pakistan atau bahkan Brazil.

Hermanto menilai, seharusnya jika pemerintah merencakan impor sejak awal, maka tidak perlu ada pemborosan uang hingga Rp1,4 triliun untuk mengkonversi beras yang sifatnya komersial yang kemudian dijadikan PSO dan dijual dengan harga yang murah.

Dirinya menilai impor beras sebenarnya tidak berpengaruh terhadap harga petani, jika beras impor tersebut hanya disimpan di gudang Bulog dan hanya didistribusikan ketika harga mulai tinggi. Dengan konversi yang memakan biaya sangat tinggi tersebut, dirinya mengingatkan pemerintah untuk tidak lagi salah  langkah dalam pengaturan untuk distribusinya.

“Sasaran yang harus mendapatkan harus betul-betul benar. Jangan sampai jatuhnya pada kaki tangan pedagang, sehingga beras murah dijual lagi dengan harga tinggi.”

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, dengan kondisi saat ini, yang paling penting adalah keamanan buffer stock. Dengan demikian pemerintah bisa melakukan stabilisasi harga.

Menurutnya, untuk mengisi buffer stock saat ini salah satu pilihannya adalah konversi, mengingat impor menurutnya akan sulit dilakukan, karena stok di negara produsen sudah tidak tersedia untuk impor. Kendati konversi membutuhkan biaya, sebenarnya hal tersebut telah diimbangi harga pengadaan Bulog dari Thailand dan Vietnam yang cukup murah.

“Intinya sebenarnya bukan konversinya. Tapi bagaimana antara kementerian ini menyatukan data dulu, mengkalibraasi data dulu. data stoknya berapa, data konsumsinya berapa?”

Menurutnya, jika memang tidak terdapat kesepakatan antar kementerian, menurutnya yang paling penting adalah kecukupan stok untuk beras PSO yang digunakan untuk keperluan beras sejahtera (Rastra) maupun untuk operasi pasar. Beras PSO tersebut akan menjadi instrumen stabilisasi harga pemerintah.

Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, mekanisme konversi semacam itu sebenarnya adalah mekanisme yang biasa dilakukan oleh Bulog sejak lama. Hanya saja, hal tersebut memang akan sangat tergantung pada ketersediaan dana subsidi tambahan dan keleluasaan Bulog dalam memanfaatkan dan mengelola dana subsidi tersebut.

Menurutnya, berapa pun volume yang akan dikonversi nantinya, jumlah tersebut akan sangat berguna. Karena hanya untuk Rastra saja Bulog akan membutuhkan 260.000-280.000 ton per bulan. Sehingga dengan perkiraan panen raya baru terjadi pada April, maka Bulog membutuhkan 1,1 juta – 1,3 juta ton beras, belum termasuk keperluan operasi pasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Avisena

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper