Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Abadi Gula Putih Vs Rafinasi

Hal yang sama berulang, setiap kali pemerintah mengembuskan sinyal akan menerbitkan izin impor gula mentah atau raw sugar bagi kebutuhan industri rafinasi.
pemerintah sebenarnya sudah mulai memikirkan solusi, dengan memprogramkan dibangunnya pabrik baru untuk menghasilkan gula yang kelasnya putih, mirip GKR. /Bisnis.com
pemerintah sebenarnya sudah mulai memikirkan solusi, dengan memprogramkan dibangunnya pabrik baru untuk menghasilkan gula yang kelasnya putih, mirip GKR. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Siang itu, Selasa (16/12/2014), puluhan petani tebu 'menyerbu' kantor Kementerian Perdagangan. Mereka berha-rap dapat menemui Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Sampai malam menjelang dan semakin larut, mereka masih menunggu, berharap dapat bersua langsung dengan sang pimpinan otoritas perdagangan.

Jauh-jauh mereka datang dari berbagai daerah untuk menyuarakan satu hal; kejelasan nasib klaim 400.000 ton stok gula kristal putih (GKP) di gudang mereka. Sayang, upaya mereka untuk bertemu Pak Menteri kandas di tingkat Sekjen.

Bukan pertama kalinya, pemerintah ‘didesak’ anggota Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) untuk ‘bertanggung jawab’ menyerap kelimpahan pasokan GKP sesuai harga patokan petani (HPP), yang saat ini dibanderol Rp8.500/kg. Ini seperti siklus. Lingkaran setan.

Hal yang sama berulang, setiap kali pemerintah mengembuskan sinyal akan menerbitkan izin impor gula mentah atau raw sugar bagi kebutuhan industri rafinasi. Tahun ini, momen tersebut terjadi hampir bersamaan dengan diterbitkannya izin impor 600.000 ton gula mentah untuk periode Januari-Maret 2015 kepada Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). AGRI juga punya tuntutan supaya izin cepat-cepat diberikan demi keberlangsungan produksi industri makanan minuman (mamin) awal tahun depan.

Lalu, apa masalahnya? Toh, Indonesia adalah satu-satunya nega-ra di dunia yang mendikotomikan pasar GKP dengan gula kristal rafinasi (GKR). GKP hasil produksi tani rak-yat untuk pasar konsumen, dan GKR untuk kebutuhan industri mamin. Pembagian yang sangat  clear  alias jelas.

Idealnya, tak perlu ada gesek-an antara kepentingan petani dan industri, karena masing-masing punya segmen pasarnya sendiri. Pada kenyataannya, gesekan kepen-tingan sangat kuat, bahkan kerap memercikkan api perselisihan.

Tentu tidak ada yang paling salah atau paling benar dari tuntutan masing-masing pihak. Bagi petani rakyat, hal yang paling melegakan adalah bila hasil produksinya terjual habis dengan harga lelang yang memuaskan.

Bagi industri rafinasi, yang terpenting mereka memiliki bahan baku memadai untuk memenuhi kontrak dengan industri mamin. Adapun, bagi pengusaha mamin, yang dibutuhkan adalah stok GKR yang cukup, mengikuti pertumbuhan produksi yang bergerak sekitar 2,6 juta ton—2,9 juta ton/tahun.

Untuk 2015, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) mengajukan kuota impor gula mentah sebesar 3,2 juta ton untuk kebutuhan mereka. Mengacu pada angka tersebut, AGRI menyodorkan angka 3,4 juta ton gula mentah untuk diimpor tahun depan.

Pemerintah sendiri sampai sekarang masih menimbang berapa kuota yang pas untuk diberikan. Untuk sementara, angka indikatif yang dipatok Kemendag adalah 2,8 juta ton.

Bagaimanapun, bagi petani, kabar keran impor gula mentah dibuka ibarat petir di siang bolong di tengah kenyataan masih ada ratusan ribu ton GKP yang belum laku terjual.

Mereka seperti traumatis jika harus disuruh ‘bersaing’ dengan GKR yang merembes ke pasar konsumsi.

Jangan lupa, sampai saat ini pun, masalah rembesan gula rafinasi masih belum tertuntaskan. Karena pemerintah tidak sanggup menjamin serapan sisa stok GKP, petani-petani itu mengobral gulanya, jauh di bawah HPP, yaitu sekitar Rp7.685/kg. Itu pun baru dibayarkan pada awal tahun depan.

Jika menggunakan istilah Ketua APTRI Soemitro Samadikoen, “Ini seperti hantu. Kami dihantui oleh impor.” Perasaan ‘dihantui’ itu mungkin tidak akan ada, kalau saja tidak ada GKR yang bocor ke pasar rakyat dan stok GKP terserap sepenuhnya.

Pengalaman bertahun-tahun, menurut mereka, setiap ada jutaan impor gula mentah yang digiling menjadi GKR, selalu ada kasus perembesan yang menekan harga GKP. Dan, sudah pasti, ujung-ujungnya GKP kalah bersaing.

Penasehat Senior Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Yadi Yusriadi berpendapat pemerintah sebaiknya memberi kuota impor gula mentah secara bertahap, sambil terus memantau efeknya ke harga GKP. “Kalau mulai merusak, ada baiknya dihentikan sementara.”

Siklus tersebut—kalau benar pemerintah menepati janji—akan disumbat per tahun depan, karena Kemendag berjanji mencabut Surat Menteri Perdagangan No.111/2009 yang membolehkan AGRI menunjuk distributor untuk menyalurkan GKR ke IKM mamin.

Pasalnya, kata Sekjen Kemendag Gunaryo, celah rembesan GKR ke pasar konsumsi ditengarai bersumber dari distributor ke IKM mamin. Loop hole  itulah yang akan ditutup. AGRI-pun sudah sepakat dengan wacana itu.

KEPENTINGAN TERABAIKAN

Strategi itu bisa jadi tepat, bisa juga tidak. Selama ini, kebijakan terkait perdagangan gula di Tanah Air selalu berputar-putar pada metode untuk menjembatani kepentingan petani dan industri. Toh, tetap saja tidak bisa menjadi panacea. Sebab, ada kepentingan lain yang selama ini terabaikan.

Di sisi lain, pemerintah sepertinya harus mulai buka mata. Rembesan GKR juga harus dilihat terjadi karena ada permintaan dari konsumen. Kalau demikian adanya, kondisi ini membuktikan satu hal; bahwa konsumen Indonesia mulai melek akan gula dengan kualitas yang lebih baik.Ambil contoh, IKM mamin yang memproduksi kembang gula atau manisan di Jawa Barat.

Dulu, mereka memang menggunakan GKP. Namun, sekali beralih ke gula rafinasi, GKR ibarat candu. Mereka tak mau kembali memakai GKP, karena tahu ada gula lain yang lebih baik. Contoh lain, coba tanyakan kepada konsumen di pasar, mana yang lebih disukai; gula yang putih bersih tanpa residu atau gula yang disebut ‘kristal putih’ tapi nyatanya ber-warna kekuningan dan tak jarang berbaur dengan ampas. Mayoritas akan memilih yang putih bersih.

Semakin melimpahnya angka kon-sumen kelas menengah di Republik ini, kesadaran mereka akan kualitas gula dengan standar prima pun meningkat. Dan, ngerinya, kepen-tingan konsumen ini tidak bisa dibendung alias tidak bisa dilarang, bahkan makin tumbuh.

Lantas, muncul pertanyaan ironis, kenapa pemerintah tak menuruti maunya konsumen saja? Toh, GKP semakin lama semakin sulit diserap pasar? Dan lagi, bukankah Indonesia sudah punya Standar Nasional Indonesia (SNI) gula sejak sepuluh tahun lalu?

Namun, bagaimana bisa SNI yang belum wajib itu diterapkan? Pabrik-pabrik gula (PG) di Indonesia jumlah-nya ada 62,  yang mana 10 di antaranya milik swasta dan sisanya BUMN.

Sejumlah 40 di antara 52 PG milik BUM itu umurnya antara 100-184 tahun. Pabrik milik swasta hanya mampu menghasilkan GKP sekitar 1 juta ton/tahun, sedangkan milik BUMN 1,5 juta ton. Mereka beroperasi enam bulan dalam setahun untuk memenuhi rerata kebutuhan konsumsi gula rumah tangga 200.000-300.000 ton/bulan. Bayangkan!

Sebenarnya, ada salah satu PG swasta di Lampung yang sudah mampu menghasilkan gula dengan kualitas baik berwarna putih. Ongkos produksi mereka juga lebih kompetitif dibandingkan dengan pabrik-pabrik yang sudah tua. Namun, satu PG tidak akan cukup menjawab permintaan hampir 240  juta penduduk negeri ini. Itu adalah jumlah tuntutan yang terlalu besar.

Di sisi lain, industri rafinasi pun tak mau terus-terusan dikambinghitamkan sebagai biang masalah tidak lakunya GKP. Ketua Umum AGRI Wisnu Hendraningrat menjelaskan jangan-jangan selama ini gula yang dicap seba-gai GKR yang merembes, sebenarnya bukan GKR. “Orang awam selalu berpikir, pokoknya gula yang warnanya putih itu rafinasi. Belum tentu.”

Staf Khusus Kemendag Ardiansyah Parman mengaku meski telat, pemerintah sebenarnya sudah mulai memikirkan solusi, dengan memprogramkan dibangunnya pabrik baru untuk menghasilkan gula yang kelasnya putih, mirip GKR.

“Programnya meningkatkan produksi dan produktivitas per hektare 100 ton dengan rendemen 10%. Berarti, setiap hektare akan menghasilkan 10 ton gula. Sekarang ini 1 hektare produksinya hanya 70 ton, rendemen 6% dengan rata-rata per tahun 5 ton gula/ha.”

Ditargetkan, paling tidak di Jawa akan ada 10 pabrik milik BUMN yang direvitalisasi. Lahan yang sudah ada masih sangat minim, sekitar 260.000 ha. Diharapkan, nantinya mereka bisa memproduksi gula mentah di dalam negeri, sehingga industri rafinasi mengurangi impor.

Mengutip penjelasan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Partogi Pangaribuan, “Bukannya tidak bisa bikin gula mentah, kita belum bikin. Kenapa tidak kita bikin? Karena kon-sentrasi kita masih bikin GKP, tapi bahan baku tebunya kurang.”

Rancangan ke depannya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN akan menginstruksikan pembuatan PG ter-integrasi dengan menambah lahan tebu supaya bisa memproduksi gula mentah secara bertahap, sehingga impor dapat dikurangi.

Diperkirakan butuh dana sekitar Rp1,7 triliun—Rp2 triliun per pabrik. Sangat besar harapan, revita-lisasi ini akan menjadi kunci paling fundamental yang dapat menjembatani kepentingan petani, industri, dan terlebih konsumen.

Masalahnya, dari mana mencari lahan untuk pemugaran PG tersebut? Sudah rahasia umum, lahan tebu di Tanah Air makin lama makin sulit dan menyempit, juga susah dicari. Itu adalah satu persoalan sulit lainnya. Tentu, butuh langkah sigap dari pemerintah soal ini. Benang kusut di sektor pergulaan harus segera diurai.

Semoga!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesi, Senin (22/12/2014)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper