Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lifting Gas Bumi: Hingga Oktober Capai 99,8% Target

Capaian lifting gas hingga Oktober setara dengan 99,8% dari target 7,099 BBTUD yang ditetapkan dalam APBN-P 2014.n
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan realisasi lifting gas bumi hingga akhir Oktober 2014 mencapai  7,085 miliar British thermal unit per hari (BBTUD).

Capaian lifting gas hingga Oktober itu setara dengan 99,8% dari target  7,099 BBTUD yang ditetapkan dalam APBN-P 2014.

Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas J. Widjonarko mengatakan capaian angka lifting tersebut tak lepas dari peran lima kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang menyumbang lebih dari 75% total lifting gas.

"Kelima KKKS itu adalah Total E&P Indonesie, ConocoPhillips (Grissik) Ltd, PT Pertamina EP, BP Berau Ltd dan PetroChina International Jabung Ltd. Kami harap semua pemangku kepentingan terus memberikan dukungan sehingga angka lifting bisa terjaga dan memenuhi target yang telah ditetapkan," katanya, Minggu (16/11/2014).

Menurutnya, di tengah menurunnya cadangan minyak, gas bumi menjadi harapan bagi sektor hulu migas Indonesia, terutama dengan semakin tingginya permintaan gas domestik.

Dia mengungkapkan volume pemanfaatan gas bumi untuk domestik telah meningkat signifikan dari 1,480 BBTUD pada 2003 menjadi 3,774 BBTUD pada 2013 atau meningkat sebesar 155%.

Bahkan, jelasnya, sejak 2013, volume gas untuk domestik telah melebih volume gas untuk ekspor yaitu 3,774 BBTUD untuk domestik dan 3,402 BBTUD untuk ekspor atau 52,6% untuk domestik dan 47,4% untuk ekspor.

Widjonarko mengatakan industri hulu migas siap untuk memenuhi kebutuhan gas domestik selama infrastrukturnya tersedia. Dia menilai ketersediaan infrastruktur menjadi kunci pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik.

Sayang, hasil lifting minyak bumi masih di bawah target dengan prognosa lifting 2014 adalah sebesar 798.000 barel per hari (barel oil per day/BOPD).

Angka ini baru menyentuh 97,6% dari target 818.000 BOPD yang tertuang di dalam APBN-P 2014.

"Saya harap angka prognosa lifting minyak sebesar 798.000 BOPD bisa bertahan hingga akhir tahun dengan asumsi tidak ada kendala operasional, gangguan cuaca dan kesiapan penyerapan PT Pertamina (Persero) selaku offtaker minyak bagian negara," katanya.

Dia mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang dihadapi KKKS, antara lain gangguan operasional produksi seperti gangguan fasilitas, gangguan sumur, kendala penyerapan minyak.

Tak hanya itu, mundurnya onstream beberapa proyek juga menjadi faktor tidak tercapainya lifting minyak bumi.

Proyek yang mundur itu antara lain pengembangan penuh Lapangan Banyu Urip dan pengembangan Lapangan Bukit Tua.

Selain itu, juga masih terdapat ketidakberhasilan pemboran beberapa sumur, termasuk penundaan pekerjaan pemboran akibat kendala ketersediaan rig dan kendala perizinan.

Di luar masalah kendala operasional tersebut, jelasnya, terdapat beberapa isu lain yang berpotensi menghambat kegiatan hulu migas dalam jangka panjang.

Menurutnya, implementasi aturan mengenai tata ruang menjadi pokok persoalan.

Widjonarko mengatakan regulasi yang ada menyatakan semua kegiatan harus mengacu pada rencana tata ruang dan tata wilayah.

Namun, saat ini tidak semua daerah sudah memiliki rencana tata ruang dan tata wilayah.

Padahal,  beberapa daerah yang menyusun rencana tata ruang dan tata wilayah belakangan tidak mengakomodasi kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya sudah beraktivitas di wilayah tersebut untuk waktu yang cukup lama.

"Dalam beberapa kasus ditemukan tapak sumur atau pipa penyalur yang berada di kawasan budidaya pemukiman, komersial, dan pertanian," katanya.

Belum lagi, jelasnya, masalah aturan perpajakan yang masih membelit KKKS. Beberapa regulasi perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan antara lain terkait pajak pertambahan nilai (PPN) impor, pajak bumi dan bangunan (PBB) offshore, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama antar KKKS.

Terkait dengan PPN impor, masalahnya adalah Kontraktor KKS eksploitasi tidak dapat menerima pembebasan PPN impor karena tata caranya belum diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2013.

"Saat ini terdapat PPN impor sebesar Rp1 triliun yang sudah dibayarkan oleh Kontraktor KKS yang belum mendapatkan pengembalian," ujarnya.

Permasalahan PPN impor ini, lanjutnya, berdampak langsung terhadap pengadaan barang yang dibutuhkan dalam operasi hulu migas sehingga berpotensi menurunkan tingkat produksi migas.

Khusus soal pembebanan PBB Offshore, jelasnya, Kontraktor KKS wilayah offshore yang menandatangani kontrak setelah PP 79 tahun 2010 mengajukan keberatan terhadap SPPT PBB Permukaan Offshore dan SPPT PBB Tubuh Bumi periode tahun 2012 dan 2013 dengan nilai Rp3,1 triliun.

Dirjen Pajak sebenarnya sudah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-45/PJ/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi untuk menggantikan Per-11/PJ/2012.

Peraturan tersebut tidak berlaku retroaktif sehingga permasalahan PBB  Migas sebesar Rp3,1 trilyun hingga kini masih belum selesai.

Kepastian hukum atas permasalahan ini berdampak terhadap keputusan investasi dari para Kontraktor KKS.

Dia mengatakan Kontraktor KKS yang masih dalam tahap Eksplorasi, memilih untuk tidak melakukan kegiatan eksplorasi sampai dengan proses tersebut selesai.

Namun, terkait penggunaan fasilitas bersama antar Kontraktor KKS. Widjonarko menilai mekanisme pengggunaan fasilitas bersama lebih efisien karena biaya operasi ditanggung bersama dibandingkan jika masing-masing Kontraktor KKS membangun fasilitasnya masing-masing.

Hanya saja, penggunaan fasilitas bersama ini ternyata kemudian dianggap sebagai objek pajak sehingga dikenakan PPN yang menimbulkan beban tambahan bagi kegiatan hulu migas.

“Saya berharap isu seputar perpajakan ini dapat segera diselesaikan, mengingat ini tidak hanya mempengaruhi ketersediaan migas dan penerimaan negara dari migas dalam jangka pendek, tetapi juga keberlangsungannya untuk jangka panjang,” ujarnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan Kementerian Keuangan telah mengenakan pajak pada kegiatan eksplorasi. Padahal, lapangan migas pada tahap itu belum berproduksi. Meski bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, namun hal ini berdampak kurang baik terhadap iklim investasi sehingga harus dikoreksi.

"Kementerian Keuangan sudah menyatakan setuju untuk dikoreksi dan akan dibahas lebih lanjut," katanya.

Rencananya, pekan depan ini pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan Menteri Keuangan dan Indonesian Petroleum Association (IPA) untuk membahas permasalahan tersebut lebih lanjut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lukas Hendra TM
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper