Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Begini Cara Pertamina Kendalikan BBM Bersubsidi

Kendati pemerintah telah mematok kenaikan subsidi bahan bakar minyak menjadi Rp285 triliun dalam APBN-P 2014, tetapi alokasi BBM bersubsidi justru menurun dari 48 juta kiloliter menjadi 47,355 juta KL.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Kendati pemerintah telah mematok kenaikan subsidi bahan bakar minyak menjadi Rp285 triliun dalam APBN-P 2014, tetapi alokasi BBM bersubsidi justru menurun dari 48 juta kiloliter menjadi 47,355 juta KL.

Kondisi tersebut membuat PT Pertamina (Persero) akan melakukan kebijakan penyesuaian agar kuota BBM bersubsidi tidak membengkak antara lain menuntaskan program konversi minyak tanah (kerosene) ke elpiji (liquefied petroleum gas/LPG) dan pemasaran solar non subsidi ke berbagai daerah.

Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya mengungkapkan bila upaya tersebut sebagai upaya untuk menekan agar kuota tidak membengkak. Langkah Pertamina tersebut telah dikirimkan ke Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melalui surat bernomor 113/F00000/2014-S3.

Surat tertanggal 20 Mei 2014 tersebut mengungkapkan bila langkah konversi kerosene ke elpiji akan dilakukan dengan memperbanyak outlet penjualan serta memonitoring pelaksanaan konversi untuk memperoleh kepastian proses penarikan kerosene.

Pertamina juga akan memperluas jangkauan pemasaran Pertamina Dex sebagai brand solar non susbidi dengan menggenjot produksi di Kilang Balikpapan dan Dumai untuk menjangkau wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.

Selain itu, perusahaan yang menerima mandate penyaluran BBM bersubsidi tersebut akan meningkatkan penjualan Pertamax Series di stasiun bahan bakar umum (SPBU) melalui berbagai program promosi.

“Pertamina terus berkoordinasi dengan Pemda serta Kepolisian di seluruh wilayah pemasaran Pertamina terkait pemberian surat rekomendasi pembelian BBM melalui jerigen, pemberian izin kepada pengecer dan penerbitan pengecer serta spekulan yang tidak memiliki izin,” ujarnya seperti dikutip dari situs resmi BPH Migas, Rabu (28/5/2014).

Tak hanya itu, perusahaan plat merah tersebut akan menggenjot pemasangan teknologi berbasis Radio-frequency identification (RFID) sebagai instrument untuk melaksanakan monitoring dan pengendalian BBM bersubsidi.

Hanung mengungkapkan langkah penyesuaian ini dilakukan menyusul laporan realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga 30 April 2014 yang telah mencapai 31,7% dari kuota yang telah ditetapkan. Meski, laporan tersebut belum diverifikasi oleh BPH Migas.

Sementara, Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan alokasi BBM bersubsidi jenis premium mencapai 9,48 juta kiloliter, sedangkan BBM jenis solar mencapai 5,15 juta kiloliter.

"Ini artinya penyaluran premium hingga April telah menyerap 29,4% dari pagu yang ditetapkan, sedangkan solar telah diserap hingga 36,42% dari pagu," ujarnya.

Namun, khusus untuk kerosene, dia mengatakan konsumsi telah mencapai 325.000 kiloliter atau sekitar 36% dari pagu yang ditetapkan sebesar 900.000 kiloliter.

Padahal, menurut catatan Bisnis, konsumsi BBM bersubsidi hingga Maret 2014 untuk BBM jenis solar telah mencapai 27,2% dari pagu yang ditetapkan, sedangkan BBM jenis premium telah mencapai 22% dari pagu yang ditetapkan pada periode yang sama.

Dengan demikian, bila dibandingkan dengan konsumsi BBM bersubsidi hingga April 2014, maka konsumsi solar pada satu bulan terakhir telah meningkat 9,22%, sedangkan konsumsi premium meningkat 7,4%.

"Untuk itu kami tetap harus memperhatikan konsumsi periode puasa-lebaran serta natal-tahun baru dimana konsumsi premium biasanya naik 10% dari kebutuhan normal. Sementara itu, realisasi penyaluran Solar telah melampaui kuota untuk periode berjalan,” katanya.

Hanung mengemukakan bila ada peningkatan konsumsi BBM bersubsidi untuk jenis bensin premium dan minyak solar. Dia menjelaskan bila terdapat sejumlah faktor penyebab peningkatan konsumsi ini antara lain peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan disparitas harga antara bensin premium dengan BBM non subsidi (Pertamax) yang mencapai Rp. 4.350,-/liter.

Padahal, disparitas harga solar subsidi dengan solar non subsidi juga sangat tinggi mencapai Rp7.100,- per liter. Tak hanya itu, target pertumbuhan ekonomi 2014 sebesar 5,4% juga mendongkrak konsumsi BBM jenis premium dan minyak solar untuk menunjang pertumbuhan tersebut.

“Pertumbuhan konsumsi minyak solar sampai dengan Maret 2014 dibandingkan periode yang sama pada 2013 hanya 2,41%,” ujarnya.

Hanung mengungkapkan bila angka ini jauh lebih rendah bila dibandingkan pertumbuhan 2013 versus 2012 sebesar 3,12%. Dia menyatakan bila pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi melambat akibat adanya berbagai upaya pengendalian penyaluran minyak solar bersubsidi yang dilakukan di seluruh wilayah.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lukas Hendra TM
Editor : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper