Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Modul Surya Nasional Jalan Di Tempat. Ini Dia Penyebabnya

Pertumbuhan industri modul surya nasional tidak mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak adanya industri hilir pembuatan bahan baku modul surya, serta masuknya produk asal China berdampak industri modul surya nasional jalan di tempat.
Ilustrasi: Panel surya
Ilustrasi: Panel surya

Bisnis.com, JAKARTA -- Pertumbuhan industri modul surya nasional tidak mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak adanya industri hilir pembuatan bahan baku modul surya, serta masuknya produk asal China berdampak industri modul surya nasional jalan di tempat.

Nurrachman, Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya (Apamsi), mengatakan pabrikan lokal sulit bersaing dengan produsen asal China, India dan Malaysia.

Tidak adanya pabrik pembuat bahan baku pasir silica berdampak harga produksi dalam negeri masih di atas produk impor.

"Jika industri hulu dibangun, pasti industri dalam negeri bisa bersaing. Sedangkan sekarang, kami harus membeli bahan baku hingga US$10,5 juta per tahunnya," tutur Nurrachman kepada Bisnis.com, Minggu (18/5/2014).

Penjualan modul surya nasional pada 2013 tercatat senilai US$25 juta dan pada tahun ini diperkirakan hanya akan naik kurang dari 5%.

Menurut Nurrachman, pembangunan pembangkit listrik belum fokus pada tenaga surya.Saat ini, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) belum dibangun besar-besaran.

"Masalah lahan menjadi kendala, pembangunan PLTS memerlukan lahan yang luas" timpalnya.

Nurrachman juga mengatakan saat ini pemerintah tidak memberikan pasar yang jelas sehingga dapat menarik investor untuk masuk.

Jika pemerintah dapat memastikan pasarnya, ujar Nurrachman, investor yang tertarik membangun pabriknya akan banyak.

Selain permasalahan pasar, pembangunan pabrik industri hulu Photovoltaik (PV) memerlukan energi yang besar.

Kendala energi di Indonesia dipandang investor menjadi permasalahan.

Ia menambahkan, ketersediaan bahan baku yang melimpah tidak akan membantu pertumbuhan industi ini dalam waktu dekat.

Hal ini diperparah jika produk China tetap menjadi pilihan pemerintah karena harganya lebih murah.

"Jika produk impor murah, sulit bagi kita menaikkan harga. Konsumen mana yang mau membeli barang yang lebih mahal," tambah Nurrachman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper