Bisnis.com, JAKARTA - Kesejahteraan petani menunjukkan penurunan sepanjang 2013 seiring melambatnya perekonomian Indonesia, terbukti dengan nilai tukar petani (NTP) yang tercatat turun 0,53% menjadi 101,96 dari tahun lalu.
NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani, dengan indeks harga yang dibayar guna keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi pertanian. Dengan demikian, NTP juga menjadi indikator kesejahteraan petani.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito H. Wibowo mengatakan kenaikan harga BBM pada Juni 2013 yang lalu menyebabkan turunnya NTP 2013. Menurutnya, NTP Subsektor Tanaman Pangan mengalami penurunan terbesar hingga 1,24%.
“Dampak dari kenaikan BBM kemana-mana, termasuk inflasi hingga diatas 8%. Alhasil, kenaikan harga kebutuhan konsumsi sehari-hari termasuk biaya produksi pertanian, naik lebih cepat dari harga kenaikan produk pertanian,” ujarnya, Minggu (05/01).
Sepanjang periode 2010-2013, dia mengaku tren pergerakan NTP masih bergerak stagnan. Hal itu, lanjutnya, dikarenakan sulitnya menaikkan harga produk pertanian, bahkan harga produk pertanian justru anjlok, ketika masa panen.
Untuk menaikkan NTP, menurutnya, Indonesia perlu mengembangkan trading house guna menjaga kestabilan harga komoditas hasil pertanian dan perkebunan dari masyarakat. Menurutnya, trading house bisa menjadi penyangga apabila harga produk pertanian turun.
“Di trading house itu, nantinya akan ada perjanjian harga barang antara pembeli dan penjual sebelum masa panen. Jadi ada semacam hedging terhadap harga hasil pertanian atau perkebunan. Saya kira produksi atau NTP bisa membaik kedepannya,” katanya.
Di sisi lain, Sasmito juga mengaku depresiasi rupiah telah mengerek NTP terutama pada Desember 2013. Berdasarkan data BPS, NTP Desember 2013 tercatat naik 0,15% dari NTP November 2013 sebesar 101,81.
Seperti diketahui, NTP merupakan salah satu indikator ekonomi yang menunjukkan perkembangan ekonomi suatu negara yang dikeluarkan oleh pemerintah di negara bersangkutan. Adapun, nilai NTP > 100 menandakan daya beli petani lebih baik dari daya beli petani pada saat tahun dasar.
Sementara itu, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani mengatakan kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan karena sebagian besar masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani.
“Fakta ini menunjukkan perlunya penambahan subsidi yang besar terhadap sektor pertanian. Namun, subsidi pertanian saat ini justru tergolong kecil dibandingkan dengan sektor energi,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (5/1).
Dia menjelaskan kecilnya rata-rata garapan lahan petani yakni 0,53 hektare, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan petani dan keluarganya. Menurutnya, pemerintah harus memberikan pendapatan terhadap petani di luar sektor pertanian.
Salah satunya adalah program padat karya dalam memperbaiki jalan oleh tenaga petani. Dia mengaku program ini pernah diterapkan dibawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto guna menambah pendapatan petani.
Kendati demikian, lanjutnya, program padat karya tersebut mulai menghilang seiring adanya UU Keuangan Negara yang melarang adanya program tersebut karena dikategorikan sebagai kerugian negara.
“Kami kira UU Keuangan Negara harus segera diperbaiki atau direvisi karena menambah penghasilan bagi masyarakat dari program padat karya ini seharusnya tidak dikategorikan sebagai kerugian negara,” katanya.