Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BBM BERSUBDISI: Beban Anggaran Pengaruhi Makro Ekonomi

BISNIS.COM, JAKARTA -- Pengamat BUMN sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai beratnya beban anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah berdampak pada kondisi makro ekonomi yang memburuk belakangan ini. "Subsidi BBM ini

BISNIS.COM, JAKARTA -- Pengamat BUMN sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai beratnya beban anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah berdampak pada kondisi makro ekonomi yang memburuk belakangan ini.

"Subsidi BBM ini sudah berdampak ke ekonomi. Ini sudah sejak Januari lalu saya ingatkan," ujarnya, Kamis (13/6).

Menurutnya, pelemahan rupiah, berkurangnya devisa, dan juga pasar saham yang mulai goyah adalah lantaran subsidi BBM yang terlalu besar sehingga membebani anggaran.

"Siapa yang bertanggung jawab ekonomi sekarang begini. Ini sangat mengkhawatirkan, rupiah melemah, kemudian ekspor kita juga pasti kena, devisa turun," katanya.

Said Didu menyatakan bahwa awal masalah dari kondisi makro sekarang ini bermula ketika pemerintah menurunkan kembali harga BBM bersubsidi dari Rp6.000 menjadi Rp4.500 pada 2008.

Namun, ketika harga minyak dunia naik tinggi, upaya pemerintah menaikkan lagi harga BBM bersubsidi pada tahun 2012 batal.

Akibatnya, subsidi BBM dari yang tadinya Rp105 triliun, kemudian melonjak menjadi Rp200 triliun lebih.

Menurutnya, kenaikan subsidi yang berlipat itu atas persetujuan DPR. Namun, anehnya ketika Pemerintah hendak mengurangi, justru sikap DPR berlawanan.

"Kini ketika akan dikurangi, menyalahkan pemerintah. Kenapa masalah begini DPR menyalahkan? Ini kan menyelamatkan rupiah demi rupiah, kok, malah dia yang marah," katanya.

Dia menjelaskan sebenarnya pihak yang menikmati subsidi BBM selama ini hanya segelintir kalangan, yakni orang mampu, penyelundup, dan kilang di luar negeri, terutama di Singapura, trader, dan "bumper" kebijakan di Senayan.

Dengan konsumsi harian BBM 1,4 juta barel per hari, kira-kira 800.000 barel harus diimpor. Dengan harga minyak sekitar US$120 per barel, nilai impor sekitar US$100 juta  atau setara Rp1 triliun per hari.

Said menuturkan bahwa di negara yang menganut sistem komunis, seperti Myanmar, Laos, Kamboja, justru tak ada subsidi BBM.

"Ketika saya tanyakan, mereka menjawab kan pemilik mobil orang mampu. Di negara komunis sendiri BBM enggak subsidi," tegasnya. (Antara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper