Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

JAKARTA: Pelaku usaha kehutanan meminta penetapan harga patokan kayu untuk perhitungan provisi sumber daya hutan (PSDH) per Juli mendatang tidak mengadaptasi harga beli industri. 
 
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto mengungkapkan kenaikan harga patokan kayu seharusnya menimbang harga jual yang disesuaikan di hutan tanpa menyertakan komponen biaya operasional dan produksi di pabrik.
 
Kementerian Perdagangan memang menurunkan kembali harga patokan untuk perhitungan PSDH pada periode 25 April—30 Juni 2012 seperti harga patokan yang tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan 8/2007 setelah menerima gelombang protes dari pengusaha. 
 
Kemendag membidani Permen 22/2012 guna menganulir kebijakan kenaikan harga patokan kayu pada Maret lalu melalui Permen 12/2012. Namun, seru Purwadi, Permen 22/2012 hanya bersifat sementara dan harga patokan kayu berpeluang membumbung tinggi pada Juli nanti.
 
Purwadi khawatir Permen 22/2012 hanya dijadikan batu pijakan pemerintah untuk melempar harga kayu setinggi langit. Pasalnya, Kemendag bersikeras harga patokan kayu perlu diakumulasi dengan biaya industri guna mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kehutanan.
 
Harga kayu bulat kelompok meranti untuk wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku akan ditetapkan sebesar Rp 1.270.000 per m3, jauh melambung ketimbang harga patokan lama sebesar Rp 600.000 per m3.
 
Kenaikan harga patokan yang lebih gila terjadi pada kayu hutan tanaman. Kayu akasia, misalnya, harga patokan ditetapkan sebesar Rp 792.000 per ton atau naik hingga 18 kali lipat dibandingkan harga patokan kayu lama senilai Rp40.000 per ton. Sementara harga patokan kayu sengon naik dramatis hingga 34 kali lipat dari Rp 30.000 per ton menjadi  Rp 1.069.000 per ton.
 
“Sedih membayangkan berapa banyak lagi perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang tidak dapat beroperasi lagi,” ungkapnya kepada Bisnis hari ini.
 
Menurut Purwadi, kenaikan harga patokan kayu akan semakin memukul daya saing bisnis pengusahaan hutan dan industri berbasis kayu secara keseluruhan. 
 
Pasalnya, kenaikan tersebut dipastikan akan berdampak pada besaran pembayaran PSDH sebesar 10% untuk kayu dari hutan alam dan 5% untuk kayu dari hutan tanaman. 
 
Selain itu, minat investasi pada hutan tanaman akan semakin redup. Purwadi memprediksi pasokan bahan baku kayu bagi industri pengolahan akan terganggu mulai Juli mendatang karena minimnya jumlah unit produksi bisnis pengusahaan hutan yang beroperasi.
 
Saat ini jumlah pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau biasa disebut HPH sebanyak 293 unit dengan luas areal kerja 23,24 juta hektar. Jumlah tersebut menurun jauh dibandingkan jumlah HPH pada tahun 1992 yang mencapai 580 unit dengan luas areal kerja mencapai 61,38 juta ha.
 
Purwadi mencatat industri hilir kehutanan kian tidak produktif karena hanya ada sektar 156 unit HPH  yang masih aktif berproduksi. 
 
Rata-rata HPH hanya memproduksi 4,67 juta m3 dari kuota hasil penebangan yang ditetapkan pemerintah sebesar 9,2 juta m3. Situasi yang sama juga terjadi pada IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI). Dari 231 unit HTI yang terdaftar, kini hanya 91 unit saja yang aktif beroperasi. (sut)
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper