Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

JAKARTA: Apapun kebijakan yang akan ditempuh pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak, pertumbuhan ekonomi harus tetap dijaga di level lebih dari 6%. 
 
Perry Warjiyo, Kepala Departemen riset ekonomi dan kebijakan moneter BI, mengatakan tanpa kebijakan apapun terkait subsidi BBM, pertumbuhan ekonomi tahun ini dapat mencapai 6,4%. Angka yang sama dapat dicapai apabila pemerintah menerapkan pengendalian subsidi BBM.
 
"Kalau BBM naik, pertumbuhan bisa turun ke 6,2%, tapi dengan digulirkannya stimulus fiskal dalam BLSM Rp30,6 triliun, pertumbuhan ekonomi bisa naik lagi jadi 6,4% tahun ini," ujar Perry dalam diskusi bertajuk Hitung Ulang Guncangan Harga BBM  hari ini.
 
Menurutnya, BI berperan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mengatasi tekanan inflasi jangka pendek melalui kebijakan moneter apapun kebijakan yang ditempuh pemerintah.
 
Apabila pemerintah menjalankan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan roda empat dengan kapasitas silinder mesin di atas 1.500 cc, kata Perry, akan ada penghematan BBM bersubsidi 2,4 juta kiloliter. 
 
Namun, tanpa kebijakan tersebut ataupun opsi kenaikan harga BBM konsumsinya bisa membengkak dari kuota APBN-P 2012, 40 juta kiloliter menjadi 47,9 juta kiloliter.
 
Berdasarkan kajian BI, lanjut Perry, volume konsumsi bahan bakar minyak kendaraan roda empat di Jawa dan Bali mencapai 8,9 juta kiloliter per tahun. Apabila konsumsinya dibatasi sesuai skema tersebut, akan ada penghematan konsumsi BBM bersubsidi tahun ini sebesar 2,4 juta kiloliter, menjadi 6,5 juta kiloliter.
 
"Kendaraan di atas 1.500 cc itu sekitar 40% dari total mobil di Jawa Bali, jadi penghematannya sekitar 2,4 juta kiloliter kalau kebijakan ini diterapkan selama 1 tahun penuh. Masalahnya kan ini tidak setahun, paling 8 bulan kalau diterapkan per 1 Mei jadi nominal penghematannya tidak terlalu besar," kata Perry.
 
Namun Perry menegaskan bahwa tanpa kebijakan yang tegas, beban subsidi makin besar. "Tanpa kebijakan apapun, subsidi naik jadi Rp250 triliun dari pagu APBN-P 2012 Rp137,38 triliun," katanya.
 
Menurut Perry, subsidi yang membengkak hingga Rp250 triliun ini, bahkan melampaui ongkos pemerintah untuk membayar PNS di seluruh Indonesia dalam 1 tahun penuh yang anggarannya mencapai Rp212 triliun. 
 
Dari sisi inflasi, skema pembatasan konsumsi BBM diperkirakan menyumbang 0,3% terhadap inflasi tahunan, sehingga tahun ini inflasi berpotensi menyentuh 4,7%. Sementara itu, apabila tahun ini harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp1500 per liter, inflasi akan mencapai 6,6%.
 
"Kalau kedua kebijakan tersebut ditempuh, inflasi bisa 6,9%. Tapi shock-nya akan temporer, hanya sekitar 3 bulan" kata Perry.
 
Pada kesempatan yang sama, Kepala EKonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menuturkan keputusan terkait kebijakan mengurangi subsidi BBM bukan semata demi kesehatan fiskal. Menurut Fauzi, defisit terhadap produk domestik bruto yang berpotensi melebar hingga 2,8% itu masih terbilang rendah.
 
"Tahun lalu defisit kita hanya 1,2%-1,3%. Kalau BBM tidak naik defisit jadi 2,8%. Kalau dibandingkan dengan defisit Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Eropa, defisit kita sangat rendah," ujarnya.
 
Fauzi menegaskan, masyarakat dan pasar membutuhkan kepastian. Menurutnya, berlarut-larutnya keputusan terkait subsidi BBM hanya meningkatkan ekspektasi inflasi dan membatasi ekspansi ekonomi Indonesia.
 
"Skenario terburuk, kalau Eropa resesi yang dalam, pertumbuhan ekonomi bisa 5,8%. Dengan BBM naik memang bisa sedikit turun 6,1%-6,2%, tapi ini tetap tumbuh ketika dunia melambat," kata Fauzi.
 
Dengan kebijakan BBM yang tidak jelas, kata Fauzi, Indonesia tetap bisa tumbuh di atas 6%. Namun dengan ada kepastian kebijakan dan akselerasi pertumbuhan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi berpotensi meningkat hingga 7%-8%. 
 
Menurut Fauzi, dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6%, investor saham akan tetap mengincar Indonesia, karena laba korporasi berpotensi tumbuh di atas 20%, dan perbankan tumbuh 31%. Indonesia juga disebut Fauzi akan menjadi 'rumah baru' bagi dana mengganggur yang tidak terserap di sektor riil Amerika Serikat dan Eropa yang tengah krisis.
 
"Suku bunga Indonesia tinggi, pertumbuhan ekonominya pesat, jadi relatif akan jadi primadona. Tapi investor SUN, sangat rentan terhadap kebijakan pemerintah," tuturnya. (sut) 
 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Diena Lestari
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper