Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah berkukuh PPN-DTP masuk penerimaan

JAKARTA: Pemerintah berkukuh untuk tetap mencatatkan realisasi pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah pada tahun berjalan 2010 sebagai penerimaan negara dalam LKPP, dengan berlandaskan pada ketentuan di UU APBN.Dalam laporan hasil pemeriksaan

JAKARTA: Pemerintah berkukuh untuk tetap mencatatkan realisasi pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah pada tahun berjalan 2010 sebagai penerimaan negara dalam LKPP, dengan berlandaskan pada ketentuan di UU APBN.Dalam laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2010, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP). Ada sejumlah permasalahan dalam LKPP 2010, antara lain pengakuan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP) sebesar Rp11,28 triliun yang tidak sesuai dengan UU PPN.Vincentius Sonny Loho, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, menerangkan pemerintah telah mengoreksi pencatatan realisasi PPN-DTP periode 2003-2005 sebesar Rp21,4 triliun dengan mengurangi nilai akhir penerimaan negara. Namun, untuk periode 2010, pemerintah tidak akan melakukan koreksi dan tetap mencatatkannya sebagai penerimaan negara karena sudah diatur dalam Undang-Undang APBN 2010."Untuk itu, pemerintah tidak mau mengeluarkan [PPN-DTP] dari penerimaan negara karena sudah sesuai dengan UU APBN. Jadi masuk dalam pos penerimaan negara dan memang langsung keluar lagi sebagai belanja subsidi," katanya seusai mengikuti sidang paripurna DPR, hari ini.Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo mengatakan BPK memiliki pemahaman dan konsep yang berbeda dengan pemerintah dalam melihat kebijakan PPN-DTP. BPK menilai itu bukan bagian dari penerimaan negara karena dalam Undang-Undang tentang PPN tidak diatur mengenai itu."Untuk BPK sebagai auditor melihat UU PPN itu tidak bunyi, walaupun dalam UU APBN bunyi. Dengan demikian, BPK belum bisa mendukung ini bagian dari penerimaan. Jadi nanti tergantung pemerintah maupun DPR untuk bisa mencari solusi bersama," tuturnya.Dalam laporan hasil auditnya, BPK juga menemukan sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan inventarisasi dan penilaian (IP) barang milik negara dan pengendalian atas pencatatan piutang pajak. Terkait IP, nilai koreksi aset negara hasil IP berbeda dengan hasil koreksi pada SIMAK barang milik negara sebesar Rp12,95 triliun, aset tetap senilai Rp5,34 triliun milik tujuh K/L belum dilakukan IP, hasil IP pada empat K/L senilaiRp56,42 triliun belum dibukukan, dan pemerintah belum bisa mengukur manfaat setiap aset tetap.Hadiyanto, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, mengatakan sebenarnya proses IP sudah selesai seluruhnya, tetapi butuh waktu untuk memasukannya dalam sistem manajemen dan akuntansi (SIMAK) barang milik negara dan merekonsiliasi data baru dengan data K/L. Pasalnya, daftar asetnya banyak dan dibutuhkan kerja sama dari seluruh K/L untuk menyingkronkannya."Kalau masih ada temuan, kami akan perbaiki, IP sejumlah K/L akan diperbaiki. Keberhasilan IP untuk kemudian memasukannya ke dalam SIMAK BMN, perlu kerja sama dari K/L," tuturnya.Sonny Loho mengungkapkan BPK memberikan opini WDP atas laporan keuangan Kementerian Keuangan karena masih menemukan permasalahan dalam pencatatan piutang pajak. Untuk membereskan hal itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah, karena merupakan warisan dari sistem dan struktur Ditjen Pajak lama."Menyelesaikannya tidak mudah, itu peninggalan sejarah dan tahu saja yang namanya mafia perpajakan. Itu berasa ada, cuma pas mau diberesin tidak mudah. Ini akan kami bereskan, akan kami kejar terus," ucapnya.Intinya, lanjut dia, tidak hanya perlu perbaikan administrasi perpajakan, tetapi juga butuh perbaikan sistem dan aparat yang melaksanakannya. Dengan demikian, target LKPP dan LKKL mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK pada 2011 diharapkan bisa tercapai. "Kami akan tertibkan administrasi dan sistemnya, orang-orangnya juga makin dibenerin." (yes)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Errol Poluan
Editor : Mursito

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper